Minggu, 03 Juni 2012

Review Jurnal Hukum Dagang


Nama Kelompok :

Ade Irene Febri               (20210115)
Dimas Agung Prayogi    (22210019)
Levian                               (24210006)
Rezky Izhardhi N              (25210835)
Rina Rismawati               (25210972)

Kelas :

2EB05

JURNAL HUKUM PEMBATALAN PENDAFTARAN MEREK TERHADAP HAK PENERIMA LISENSI MEREK MENURUT UU NO. 15 TAHUN 2001

Agus Mardianto
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Jawa Tengah
E-mail : agusmardianto39@yahoo.co.id

Abstract
Globalisasi perdagangan telah membuat merek dagang menjadi sangat penting. sebuah merek dagang adalah tanda yang berfungsi sebagai dibedakan dari orang lain, jaminan kualitas dan sumber asal. Pemilik merek dagang terdafatar memiliki hak eksklusif untuk menggunakan merek dagang dalam jangka waktu tertentu atau membarikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Izin kepada pihak lain atau lisensi, harus diberikan melalui surat persetujuan untuk izin untuk menggunakan (tidak mengalihkan kepemilikan) untuk jangka waktu tertentu. Pendaftaran merek dagang dalam daftar umum merek dagang dapat dibatalkan atas permintaan dengan argumen bahwa merek dagang memiliki kesamaan dasar dengan merek dagang terdaftar sebelumnya, atau pendaftaran itu dibuat untuk maksud kejam. Pembatalan hasil pendaftaran merek dagang penghentian perjanjian lisensi merek dagang, namun penerima lisensi dapat berhak sampai selesainya masa perjanjian.

Keywords : hak eksklusif, perjanjian lisensi, pemegang lisensi.

Pendahuluan
Pengaruh globalisasi di segala bidang kehidupan masyarakat, baik dibidang sosial, ekonomi, maupun budaya semakin mendorong laj perkembangan perekonomian masyarakat. Di samping itu, dengan semakin meningkatnya Perkembangan TI dan Sarana Transportasi telah menjadikan kegiatan disektor perdagangan barang maupun jasa meningkat secara pesat. Kecenderungan meningkatnya arus perdagangan barang dan jasa tersebut akan terus berlangsung sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin baik. Beberapa negara semakin mengandalkan kegiatan ekonomi dan perdagangannya pada produk-produk yang dihasilkan atas dasar kemampuan intelektual manusia.
Dalam era perdagangan global, peranan merek menjadi penting terutama untuk menjaga persaingan bisnis yang sehat. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Tidak semua tanda dapat didaftar sebagai merek. Hanya tanda-tanda yang memenuhi syarat yang dapat didaftar sebagai merek, seperti mempunyai daya pemebeda; tanda tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umu; bukan tanda bersifat umum dan tidak menjadi milik umum; atau bukan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya; tanda tersebut juga tidak mempunyai persamaan dengan merek lain yang terdaftar terlebih dahulu.
Fungsi Merek adalah sebagai tanda pengenal untuk membedakan produk perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainnya, sarana promosi dagang, jaminan atas mutu barang atau jasa, dan penunjuk asal barang atau jasa yang di hasilkan,
Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan bahwa Hak Merek adalah hak eksklusif yang di berikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dangan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Hak Merek diberikan oleh Negara karena Hak Merek tidak lahir scara otomatis seperti halnya Hak Cipta. Hak Merek lahir karena pendaftara. Perlindungan hukum merek hanya akan berlangsung apabila hal tersebut dimintakan pendaftaran, karena pendafataran adalah mutlak. Tanpa ada pendaftaran tidak ada hak merek dan juga perlindungan. Pemilik merek terdaftar dapat menggunakan sendiri mereknya untuk jangka waktu 10 tahun dan jangka waktu perlindungan tersebut dapat diperpanjang kembali.
Hak Merek juga dapat di alihkan haknya dengan cara pewarisan, wasiat, hibah, perjanjian, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Selain itu Pemilik merek terdaftar dapat memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan hak mereknya. Pemeberian izin inilah yang di sebut Lisensi.

Pembahasan

Lisensi Merek
Pengertian Lisensi menurut Pasal 1 angka 13 UU Merek adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan Pengalihan Hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.
Secara harfiah lisensi mengandung arti sebagai suat ijin (hak atau wewenang) yang diberikan oleh pihak yang berwenang atau pihak yang berhak kepada pihak lain untuk melakukan suatu perbuatan atau berbagai macam perbuatan hukum atas sebidang tanah yang bukan miliknya. Perbuatan-perbuatan hukum tersebut apabila dilakukan tanpa ijin dari si pemilik hak merupakan suau perbuatan yang tidak sah (illegal), perbuatan yang salah atau pelanggaran (trespass), perbuatan yang menimbulkan kerugian (tort) atau perbuatan-perbuatan lain yang termasuk dalam kategori perbuatan yang tidak diperbolehkan (not be allowed).
Banyak pertimbangan yang dipakai untuk pembuatan perjanjian lisensi seperti :
Lisensi menambah sumber daya pengusaha pemberi lisensi secara tidak langsung ;
Lisensi memungkinkan perluasan wilayah usaha secara tidak terbatas ;
Lisensi memperluas pasar ;
Lisensi mempercepat proses pengembanagn usaha bagi industri padat modal ;
Penyebaran produk lebih mudah
Dapat mengurangi tingkat kompetisi hingga pada suatu batas tertentu
Pihak pemebri dan penerima lisensi dapat melakukan trade off (barter) teknologi
Pemberi lisensi memungkinkan pemberi lisensi untuk sampai pada batas tertentu melakukan kontrol atas pengelolaan kegiatan usaha yang dilisensikan.
Pasal 43 ayat (1) UU Merek  menyebutkan bahwa pemilik merek terdaftar berhak memberikan lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian bahwa penerima lisensi akan menggunakan merek tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa. Lahirnya hubungan hukum para pihak dalam pemberian lisensi harus dituangkan dalam perjanjian. Perjanjian tersebut tunduk spenuhnya pada hukum perjanjian yang terdapat dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Hubungan hukum yang timbul karena perjanjian lisensi demikian penting, maka sebaiknya perjanjian ini dibuat dalam bentuk akta otentik. Ada beberapa hal yang harus dimuat dalam perjanjian lisensi, yakni :
Nama dan alamat para pihak yang mengadakan perjanjian lisensi
Merek dan nomor pendaftaran
Ketentuan mengenai :
Jangka waktu perjanjian lisensi
Dapat atau tidaknya jangka waktu perjanjian lisensi di perpanjang
Penggunaan mereknya untuk seluruh atau sebagian jenis barang atau jasa yang termasuk dalam satu kelas
Jumlah royalty dan tata cara pembayarannya
Dapat atau tidaknya penerima lisensi memberikan lisensi lanjut kepada pihak ketiga
Kewajiban pemberi lisensi untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap mutu barang yang di produksi dan di perdagangkan
Batas wilayah berlakunya perjanjian lisensi, apabila di perjanjikan
Penting untuk diperhatikan agar perjanjian lisensi dapat berjalan dengan baik adalah pengaturan mengenai hak dan kewajiban licensor  dan  licensee secara rinci. Hak dan kewajiban pemberi lisensi adalah :
Menerima pembayar royalty sesuai dengan perjanjian
Menuntut pembatalan lisensi merek
Menjamin penggunaan merek dari cacat hukum atau gugatan dari pihak ketiga
Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap mutu barang atau jasa hasil produksi penerima lisensi
Meminta persetujuan kepada penerima lisensi
Pembatalan perjanjian lisensi merek
Sedangkan hak dan kewajiban penerima lisensi adalah :
Menggunakan merek yang dilisensikan sesuai jangka waktu
Menuntut pembayaran kembali royalty yang telah dibayarkan penerima lisensi kepada pemilik merek
Memberi lisensi lebih lanjut kepda pihak ketiga
Menuntut pembatalan lisensi merek
Membayar royalty sesuai perjanjian
Meminta pencatatan perjanjian lisensi kepada Kantor Merek
Menjaga mutu barang atau jasa hasil produksinya sesuai dengan standar mutu barang atau jasa atas merek yang dilisensikan.
Pembatalan Pendaftaran Merek
Pembatalan pendaftaran hak merek hanya dapat di ajukan oleh pihak yang berkepentingan atau oleh pihak merek, baik dalam bentuk permohonan kepada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual atau gugatan kepada pengadilan Niaga, dengan dasar alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6 UU Merek yang mengatur mengenai merek yang tidak dapat di daftarakan dan merek yang tidak dapat di daftarkan dan merek yang ditolak pendaftarannya.

Akibat Pembatalan Pendaftaran Merek terhadap Hak Penerima Lisensi Merek
Pembatalan pendaftaran merek akan berakibat berakhirnya perjanjian lisensi yang dibuat . walaupun demikian hak penerima masih di lindungi, hal ini dapat dilihat dalam pas 48 UU Merek yang menentukan sebagai berikut :
Penerima lisensi yang beritikad baik, tetapi kemudian Merek itu dibatalkan atas dasar adanya persamaan pada pokok atau keseluruhannya dengan Merek lain yang terdaftar, tetap berhak melaksanakan perjanjian  lisensi tersebut sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian lisensi
Penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lagi wajib meneruskan pembayaran royalty kepada pemberi lisensi yang dibatalkan, melainkan wajib melaksanakan pembayarn royalty kepada pemilik merek yang dibatalkan
Dalam hal pemberi Lisensi sudah terlebih dahulu menerima royalty secara sekaligus dari penerima Lisensi,  pemberi Lisensi tersebut wajib menyerahkan bagian dari royalti yang diterimanya kepada pemilik Merek yang tidak di batalkan, yang besarnya sebanding dengan sisa jangka waktu perjanjian Lisensi.
Apabila dalam pelaksanaan perjanjian lisensi tersebut terjadi gugatan pembatalan terhadap kepemilikan merek yang ditujukan kepada pemilik merek sekaligus pemberi lisensi merek, maka kedudukan dari pihak penerima lisensi merek tidak akan terpengaruh oleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap terhadap sengketa gugatan merek tersebut. Apabila kedudukan pemberi lisensi merek sebagai pemilik merek dibatalkan melalui putusan hakim pengadilan niaga yang berkekuatan hukum tetap, maka pihak penerima lisensi merek akan tetap dapat melaksanakan perjanjian lisensi tersebut dan dengan persyaratan bahwa pembayaran royalti pada periode selanjutnya akan dilanjutkan kepada pihak yang dinyatakan sebagai pemilik merek yang sah.

Penutup

Kesimpulan
Pembatal Pendaftaran Merek berakibat berakhirnya perjanjian lisensi merek, akan tetapi pembataln pendaftaran merek tidak berakibat hapusnya hak penerima lisensi merek. Pasal 48 UU Merek memberikan perlindungan terhadap hak penerima lisensi merek yang beritikad baik yang mencatatkan perjanjian lisensi yang dibuatnya pada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual. Penerimaan lisensi merek tersebut teteap berhak melaksanakan perjanjian Lisensi sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian lisensi.

Sumber :
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011/VOL11S2011%20AGUS%20MARDIANTO.pdf

Review Jurnal Hukum Ekonomi


Nama Kelompok :
Ade Irene Febri               (20210115)
Dimas Agung Prayogi    (22210019)
Levian                               (24210006)
Rezky Izhardhi N              (25210835)
Rina Rismawati               (25210972)

Kelas :
2EB05



KOMPARASI BERBAGAI ALIRAN  HUKUM DAN EKONOMI : Suatu Kajian Filsafat Hukum
Erlyn Indarti *

Abstract
     Secara umum, kelahiran dan pertumbuhan hukum dan ekonomi didasarkan pada kontribusi yang diberikan oleh bagian hukum dan sisi ekonomi hukum dan ekonomi.sebagai perubahan menyapu tatanan masyarakat ilmiah bagian hukum dan ekonomi transformasi saksi signifikan dalam proses pembentukan,pemahaman,struktur dan institusi hukum memproduksi cukup banyak sekolah penelitian pengalaman di bidang filsafat hukum yang inti dari penelitian ini adalah perbandingan antara sekolah berbagai pengalaman perbandingan seperti itu akan memiliki kompetensi untuk mempersempit atau bahkan menjembatani kesenjangan antara sekolah bersaing pikiran dan meningkatkan upaya untuk menyelesaikan kompleksitas masalah hukum, dalam hukum dan ekonomi.

Kata Kunci : Filsafat Hukum, Hukum dan Ekonomi

Pendahuluan
     Secara umum dapat dikatakan, bidang kajian Hukum dan Ekonomi tumbuh dan berkembang melalui kontribusi yang diberikan 2 (dua) pihak, yakni yang pertama adalah "pihak hukum' dari Hukum dan Ekonomi, serta yang kedua adalah 'pihak ekonomi' dari Hukum dan Ekonomi. Dari 'pihak hukum', sumbangan utama yang diberikan adalah bentuk pemahaman terhadap hukum yang berubah dan berkembangsesuai dengan konteks ruang dan waktunya.
Sesungguhnya hukum dan ekonomi saling berinteraksi pada berbagai titik singgung. Implikasi dari kajian Hukum dan Ekonomi tidak hanya terbatas pada ilmu Hukum ataupun Ilmu Ekonomi semata, melainkan dapat pula meliputi berbagai disiplin yang baik secara langsung maupun tidak langsung berkepentingan dengan beragam aspek hukum, seperti Ilmu Politik dan Sosiologi.

Tinjauan Pustaka
     Dalam 4 dekade belakangan ini Hukum dan Ekonomi mulai bertunas sebagai kajian yang terpisah dan tersendiri, baik dalam Ilmu Hukum maupun Ilmu Hukum Ekonomi. Sebenarnya memang agak mengherankan, mengapa interaksi yang begitu nyata antara hukum dan ekonomi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan pengakuan yang semestinya. Mungkin ini di sebabkan oleh sabagian pakar hukum yang mengagungkan independensi dan self sufficiency dari hukum; atau sebaliknya, sikap sementara ahli ekonomi yang mengedepankan independensi dan self sufficiency dari ekonomi.
     Salah satu sumbangan awal dari Ilmu Hukum bagi pengembangan kajian hukum dan Ekonomi berasal dari apa yang lazim disebut Common Law. Kehadiran Common Lawa merupakan buah dari reaksi terhadap pendekatan metafisikal terhadap hukum yang diusung oleh Aliran Filsafat Hukum Legak Theology maupun dari metode Ilmu Alam yang dikandung Natural Law.
   
Pengumpulan Data
     Penelitian ini merupakan Kajian Literatur. Dalam Hal ini, data penelitian di peroleh dari interaksi antara peneliti dengan para pemikir dan pakar hukum sesuai dengan Aliran Filsafat Hukum yang dianut, melalui pemikiran, pandangan, pendapat, atau pernyataanmereka sebagaimana dapat dibaca di berbagai literatur yang ada.

Pembahasan
Chicago School of Law and Ecomics
     Hukum dan Ekonomi bermula dari pemikiran Adam Smith atau Jeremy Betham. Kemudian, berpadunya hukum dan ekonomi secara lebih mantap, banyak ditentukan oleh interaksi antara paham realisme dan intitusionalisme pada dekade 1920-an dan 1930-an. Pada dekade 1960-an muncul apa yang disebut Aliran Chicago 'Baru'; namun demikian, perbedaan antara yang 'lama' dan 'baru' di dalam Aliran Chicagolebih merupakan 'dongeng' dari pada kenyataan.
     Secara sederhana bahkan dapat dikatakan bahwa Aliran Chicago ini menganggap sesuatu yang ‘tidak efisien’ sebagai sesuatu yang ‘salah’ atau melanggar hukum atau melawan hukum  atau unlawful/illegal. Menurut aliran hukum dan ekonomi aliran Chicago. Tujuan sentral dari pembuatan /pengambilan keputusan hukum semestinya. Dalam prakteknya, Aliran Chicago merasuki antara lain hukum antitrust, hukum tort, hukum kontrak  dan hukum lingkungan. Keseluruhannya kebanyakan dalam konteks common law.Kendati demikian, secara umum aplikasi pemikiran aliran Chicago dapat dikelompokan menjadi :

Hukum dan Ekonomi ‘positif’
Hukum dan Ekonomi ‘normatif’
     Aliran hukum dan Ekonomi Chicago yang positif pada umumnya melakukan analisa efisiensiterhadap common law. Dengan kata lain kajian yang dilakukan berkenaan dengan penilaian/pengukuran/pengujian tentang seberapa jauh common law yang ada dan berlaku sesuai dengan prinsip efisiensi ekonomi. Dalam hal ini common law dimengerti tidak semata-semata sebagi  ‘mekanisme penetapan harga’ yang dirancang untuk memastikan adanya alokasi sumberdaya yang efisien. Dengan kata lain yang normatif ini berkenaan dengan cara bagaimana membangun/membuat/membuat/menentukan ‘aturan hukum yang efisien’atau efficient legal rules yang baru yang akan memandu pembuatan/pengambilan keputusan di dalam proses atau administrasi peradilan (administration of justice).

Public Choice Theory
     Pada mulanya ‘benih’ public choice theory telah disemaikan sejak akhir tahun 1940-an oleh para akademisi di bidang public finance. Hal ini kemudan berlanjut hinggan pertengahan yahun 1950-an manakala mereka melepaskan diri dari kajian ‘kebijakan pemerintah tentang perpajakan dan pengeluaran/belanja’.Dalam upaya meng-eksplorasi ‘teory pemungutan suara atau ‘voting theory Rangkaian proses ini kelak akhirnya berkulminasi pada karya Duncan Black dan Anthony Downs, yang masing-masingnya adalah :
Economic Theory of Democracy (Downs,1957)
The Theory of Comitees and Elections (Black,1958)
     Secara singkat public choice theory dapat didefinisikan sebagai analisa terhadap pembuatan/penagmbilan keutusan yang tidak berkenaan dengan pasar. Sedangkan secara lebih luas public choice theory  dimaknakan sebagai sekumpulan teori atau a body of  theory  yang memperlakukan para pembuat/pengambilan keputusan atau individual decision makers. Oleh karena ketertarikannya terhadap keputusan politis yang kentara, maka public choice theory of law and economics bisa juga dimengerti sebagai aplikasi dari analisa hukum dan ekonomi di dalam pembuatan/pengambilan keputusan politis. Dalam pengertian ini termasuk pula diantaranya beragam teori tentang Negara. Jika Chicago School of Law and Economics lebih berorientasi kapada common law, public theory dapat dilihat sebagai suatu pendekatan yang mempunyai focus utama pada ‘penciptaan’ atau creation dan ‘penerapan’ atau implementation dari hukum melalui proses hukum.

Institutinal Law and Economics
    Pendekatan institusional terhadap hukum dan ekonomi sebenarnya berakar pada berbagai bidang kajian yang diantaranya adalah:
Ekonomi dan Jurisprudence: Henry C. Adams (1954)
Hubungan antara property dan kontrak dengan distribusi kekayaan : Richard T.Elly (1914)
Dasar-dasar hukum dari sistem ekonomi : John R,Commons (1924,1925)
Peran sistem harga dan posisinya di dalam ekonomi modern : Wesley C.Mitchell (1927)
      Unsur-unsur dari pendekatan institusional terhadap hukum dan ekonomi ini dapat dijumpai pula pada tulisan-tulisan :
Salah satu pendiri kajian ekonomi institusional, yakni : Thorstein Veblen (1889, 1904);
Pengacara sekaligus pakar ekonomi atau lawyer-economist, seperti : Robert L. Hale dan Walton H. Hamilton (1932);
Akademisi/ilmuwan/pakar hukum, misalnya : Karl Llewellyn (1924); Jerome Frank (1930); Roscoe Pound (1911, 1912).
     Institusional Law and Economics menuntut pendekatan interdispliniary antar lain : psikologi, sosiologi, antropologi, behavioral science, ekonomi, dan tentunya hukum, guna memahami perilaku para actor/pelaku ekonomi secara lebih baik. Dengan ini diharapkan akan dihasilkan berbagai asumsi yang lebih tepat berkenaan dengan penggambaran perilaku mereka. Institutional Law and Economic juga menolak asumsi-asumsi preferensi tetap. Berbeda dengan pendekatan lainnya didalam law and economics, pendekatan institutional law and economics sama sekali tidak membedakan diantara perlakuan-perlakuan, misalnya :
Jurisprudensial
Legislatif
Birokratik
Regulatori
     Bagi institusional law and economics,kesemua elakuan tersebut sama merupakan manifestasi dari inerelasi diantara:
Pemerintah ingat sebagai institusi dan ekonomi
Proses hukum dan proses ekonomi,dengan segala institusinya
     Sekali lagi perlu ditekankan di sini,fokus utama dari institusional law and economics adalah pada interelasi dan interaksi timbale balik diantara kedua pasang hubungan/keterkaitan tersebut.Oleh Karena sifat resiprokal atau mutual ini. Maka hubungan antara hukum dan ekonomi menjadi sebagai berikut :
Ekonomi merupakan fungsi dari hukum dan sebaliknya
Hukum juga merupakan fungsi dari ekonomi
Kesimpulan
Demikian perbandingan komparatif kontribusi Aliran Filsafat Hukum ke pada berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi. Dengan komparasi ini, diharapkan pengikisan tembok pemisah dan prasangkasekaligus perbandingan yang lebih luas diantara filosofi hukum berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi dapat berlangsung. Selanjutnya, perbedaan yang ada di antara berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi dapat terjembatani dan persoalan hukum-pun dapat menemukan jalan keluarnya. Sebab pemahaman yang benar dan komprehensif tentang visi filosofis hukum dari berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi akan dapat menguarai, mendudukkan pada tempatnya, serta memecahkan persoalan hukum dan/atau persoalan ekonomi yng kini memang kian kompleks itu.

Saran
Membaca keseluruhan laporan penelitian ini, kiranya dapat dipertimbangkan untuk :
Mengembangkan penelitian dalam bidang Filsafat Hukum.
Mengembangkan penelitian dalam bidang Filsafat Hukum yang berkenaan dengan kontribusi visi filosofis dari hukum kepada berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi.
Mengembangkan penelitian dalam bidang Filsafat Hukum dengan Model Penelitian Komparasi terhadap berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi.
Membuka hati untuk menerima keberagaman pemahaman hukum melalui komparasi sumabangan visi filosofis hukum kepada berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi, sehingga jurang pemisah diantara aliran-aliran tersebut dapat terhubungkan, dan kompleksitas persoalan hukum-pun dapat terurai sekaligus terselesaikan
Sumber :
 http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/372087380.pdf

Sabtu, 02 Juni 2012

Review Jurnal Hukum Perjanjian Internasional



Nama Kelompok :

Ade Irene Febri               (20210115)
Dimas Agung Prayogi    (22210019)
Levian                               (24210006)
Rezky Izhardhi N              (25210835)
Rina Rismawati               (25210972)

Kelas :

2EB05

Kajian Akademis (Teoritid dan Praktis) atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Berdasarkan Hukum Perjanjian Internasional

Abstract
Ada banyak berbagai pendapat tentang Undang-Undang perjanjian yang telah di tetapkan pemerintah Indonesia pada taun 2000, termasuk apakah sudah diterapkan dengan benar dan dipahami dengan benar. Artikel ini membahas analisis akademik tertentu pada hukum No 24 Tahun 2000 tentang perjanjian dari sudut pandang hukum perjanjian.

1.                   Pendahuluan

Hukum perjanjian internasional telah diformulasikan ke dalam bentuk hukum tertulis yang berupa dua konvensi yakni :
·         Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional yang hanya mengatur perjanjian-perjanjian internasional antara negara dan negara saja
·         Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian internasional antara Organisasi Internasional dan Negara dan antara Organisasi Internasional dan Organisasi Internasional

Pada dasarnya, kedua Konvensi ini mengatur tentang proses atau tahap-tahap dalam pembuatan sampai pengakhiran perjanjian internasional.
Keterikatan atau tunduknya suatu negara pada suatu perjanjian internasional mengandung aspek eksternal dan aspek internal. Aspek eksternal adalah negara itu memikul kewajiban dan menerima hak dari perjanjian internasional itu. Sedangkan aspek internalnya adalah perjanjian internasional itu masuk dan berlaku sebagai bagian dari hukum nasionalnya. Masalah-masalah sudah mulai terjadi ketika pemerintah begara itu bermaksud akan membuat perjanjian internasional. Ini lebih tampak sebagai masalah prosedur.
Masalah internal lainnya yang lebih substansial adalah dampak atau pengaruh dari masuknya perjanjian internasional itu ke dalam hukum nasional atau peraturan perundanga-undangan nasional negara.dalam hal ini dibutuhkan adanya pengharmonisasian atau penyelarasana antara substansi perjanjian dengan substansi dari hukum atau peraturan perundang-undangan nasional yang terkait.

2.                   Dasar Hukum dari Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Indonesia

Secara kronologis, periodeisasi dasar hukum dari perjanjian internasional dalam sejarah hukum Indonesia adalah :


II.1. Periode 17Agustus 1945 – 18 Desember 1949, Periode 18 Desember 1949 – 17 Agustus 1950, dan Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959

Dalam periode 17 Agustus 1945 – 18 Desember 1949, dasar hukum perjanjian internasional dapat dijumpai dalam Pasal 11 UUD 1945. Karna bentuk negara RI diubah dari negara kesatuan menjadi negara serikat, maka yang menjadi dasar hukum dari perjanjian internasional yaitu Bab IV Bagian 5 (18 Desember 1949 – 17 Agustus 1950).
Lalu periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 menggunakan UUDS 1950 Pasal 120 ayat 1 dan 2 dan Pasal 121 menjadi dasar hukum dari perjanjian internasional.

II.2. Periode 5 Juli 1959 – 23 Oktober 2000
II.2.1. Berlakunya kembali UUD 1945 dan Pasal 11 UUD 1945 sebagai dasar hukum dari perjanjian internasional

Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 yang salah satu isinya adalah “Kembali ke UUD 1945”, maka sejak itu UUD 1945 mulai berlaku kembali. Bentuk negara tetap sebagai negara kesatuan, hanya UUDnya saja yang diganti. Dengan demikian, dasar hukum dari perjanjian internasional juga kembali pada Pasal 11 UUD 1945 dengan rumusan yang tidak berubah.

II.2.2. Surat Presiden Nomor: 2826/HK/1960 Tanggal 22 Agustus 1960

Surat presiden ini pada hakekatnya merupakan pendapat atau penafsiran dai Presiden atau Pemerintah tentang ruang lingkup substansi dari Pasal 11 UUD 1945. Adapun isi pokok dari Surat Presiden ini dapat dirincikan sebagai berikut:
1.       Tidak setiap perjanjian yang dibuat oleh Presiden dengan negara asing harus diajukan kepada Dewan untuk mendapatkan persetujuan.
2.       Jika mengenai perjanian-perjanjian yang substansinya kecil juga harus membutuhkan persetujuan Dewan terlebih dahulu, akibatnya Pemerintah tidak akan mempunyai keleluasaan untuk bertindak dalam melakukan hubungan-hubungan internasional yang membutuhkan langkah cepat dari Pemerintah.
3.       Untuk menjamin kelancaran kerjasama antara Pemerintah dan Dewan berkenaan dengan Pasal 11 UUD 1945, Pemerintah akan meminta persetujuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, hanya mengenai perjanjian-perjanjian yang penting saja (treaties).
4.       Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Pemerintah berpendapat, perjanjian-perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR umtuk mendapatkan persetujuan sebelum disahkan oleh Presiden adalah perjanjian-perjanjian yang lazimnya berbentuk treaty.

II.3. Periode 23 Oktober 2000 – Sekarang: Masa berlakunya UUD 1945 (sesudah Perubahan) dan mulai berlakunya UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian InternasionalII.3.1. Pasal 11 UUD 1945 Perubaha Ketiga (2001) dan Keempat (2002)

Pada Perubahan Ketiga (2001), naskah Pasal 11 lama tampaknya dihapuskan sedangkan ayat 2 dan 3 nya merupakan hasil Perubahan Ketiga. Akan tetapi dalam Perubahan Keempat (2002), Pasal 11 naskah yang lama ternyata dimunculkan lagi dan dijadikan seabagi Pasal 11 ayat 1.
Ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan berkenaan dengan substansi dari Pasal 11 ayat 1, ayat 2, dan 3:
·         Terhadap ayat 1 yang merupakan naskah lama, tidak tepat untuk disatukan pengaturan tentang menyatakan perang dan membuat perdamaian pada satu pihak dan membuat perjanjian internasional pada pihak lain di dalam satu pasal ataupun ayat, sebab keduanya berbeda.
·         Terhadap ayat 2 sebagai naskah baru yang substansinya lebih tampak sebagai kriteria tentang suatu perjanjian internasional yang harus membutuhkan persetujuan DPR.
·         Mubculnya ketentuan ayat 2 yang mengharuskan Presiden meminta persetujuan Dewan dalam pembuatan perjanjian-perjanjian internasional yang materinya sangat penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak, tampaknya disebabkan karena perancang naskah ayat 2 ini menafsirkan ayat 1 sebagai bersifat fakultatif.

III.  Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional: Beberapa Catatan dan Komentar

Secara umum dapat dikatakan, bahwa UU ini sudah lebih lengkap jika dibandingkan dengan Surat Presiden di atas. Akan tetapi, UU ini menyatukan antara perjanjian internasional yang diatur dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986, padahal keduanya walaupun ada cukup banyak persamaan, juga ada perbedaannya.
Memang sistimatikanya sudah tampak adanya keselarasan, namun sistematika ini tidak sepenuhnya sesuai mengikuti urutan-urutan dalam kedua Konvensi walaupun tidak harus sama persis.
Secara khusus, terlihat adanya masalah dalam hal “Pengesahan”. Tidak jelasnya perbedaan antara “Pengesahan” dalam pengertian “Pengikatan diri atau Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian Internasional” pada satu pihak dengan “Pengesahan” dalam pengertian “Pemberlakuan suatu Perjanjian Internasional ke dalam Kukum Nasional Indonesia” pada pihak lain.
Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan, dan persetujuan. (Pasal 1 butir b)
Dari definisi ini tampak jelas, bahwa yang dimaksudkan dengan pengertian pengesahan dalam  Pasal 1 butir b ini adalah sama dengan pengikatan diri atau persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 11-17 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 11-17 Konvensi Wina 1986.
Selain itu, UU ini membedakan perjanjian internasional ke dalam dua golongan yakni :
·         Perjanjian internasional yang diberlakukan dengan undang-undang (Pasal 10)
·         Perjanjian internasional yang diberlakukan dengan Keputusan Presiden (Pasal 11 ayat 1 dan 2)

IV. Beberapa Masalah Domestik dari Pemberlakuan Perjanjian Internasional ke dalam Hukum Nasional Indonesia Berdasarkan Pasal 11 UUD 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat dan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Masalah-masalah dalam ruang lingkup hukum nasional secara kronologis adalah:
·         Indonesia sebelum mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional sebagaimana lazimnya, akan mengkaji secara mendalam lebih dahulu substansi dari perjanjian internasional tersebut. Persoalan-persoalan yang terkait dalam hal ini adalah, sejauh manakah substansi perjanjian internasional itu sesuai ataupun bertentangan dengan kepentingan nasional ataupun hukum nasional dalam bidang yang bersangkutan.
·         Mengenai pembedaan perjanjian internasional yang pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia antara yang membutuhkan dan yang tidak membutuhkan persetujuan DPR.
·         Kesalahan dalam penggolongan dan pemberlakuan seperti di atas, dapat menimbulkan persoalan apabila Keputusan Presiden tentang pemberlakuan perjanjian itu dijadikan sebagi konsiderans dari UU yang merupakan pelaksanaa dari perjanjian itu.
·         Adanya kemungkinan pihak-pihak yang menggugat keabsahan dari suatu UU tentang pemberlakuan perjanjian internasional kehadapan MK ataupun menggugat keabsahan dari suatu Keputusan Presiden tentang pemberlakuan perjanjian internasional melalui hak uji materiil di hadapan badan pengadilan.
·         Berkenaan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang setelah pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia yang substansial masih perlu ditransformasikan menjadi UU nasional.
·         Perjanjian-perjanjian internasional dalam golongan pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia dilakukan secara langsung sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 15 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2000. Dengan kata lain, perjanjian-perjanjian dalam golongan ini masuknya dan berlakunya sama sekali tanpa suatu bentuk tertentu, seperti UU, KepPres ataupun bentuk peraturan lainnya.

V. Penutup

Dengan paparan masalah-masalah di atas kiranya sudah cukup menampakan betapa keduanya perlu diubah lagi untuk disesuaikan dengan perkembangan hukum perjanjian internasional itu sendiri yang semakin lama semakin bertambah banyak baik secara kuantitatif maupun kualitatif.





SUMBER : INDONESIAN JOURNAL OF INTERNATIONAL LAW

Review Jurnal : Wajib Daftar Perusahaan



Nama Kelompok : Ade Irene Febri
                                 Dimas Agung.P
                                 Levian
                                 Rezky Izhardhi
                                 Rina Rismawati
Kelas                      : 2EB05

Studi Tentang Evaluasi Program Perluasan Kepesertaan Jamsostek Di Pt. Jamsostek Surakarta
Oleh Ida fitria s
2010

Abstrak
Kepesertaan buruh dalam program Jamsostek adalah wajib dan terdapat sanksi bagi perusahaan yang melanggarnya. Akan tetapi kepesertaan yang bersifat wajib ini tidak disertai pemahaman yang jelas tentang manfaatnya, baik di tingkat tenaga kerja maupun pengusaha, sehingga masih banyak yang belum ikut kepesertaan Jamsostek. Salah satu program yang dilaksanakan PT. Jamsostek untuk menjaring peserta yaitu program perluasan kepesertaan. Penelitian ini dilaksanakan di PT. Jamsostek Surakarta dengan menitikberatkan pada proses pelaksanaan program perluasan kepesertaan dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan penilaian terhadap pelaksanaan usaha perluasan kepesertaan Jamsostek yang dilaksanakan oleh PT. Jamsostek Surakarta. Jenis penelitian ini adalah penelitian evaluasi yang menggunakan model evaluasi CIPP. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa pelaksanaan program perluasan kepesertaan Jamsostek di PT. Jamsostek Surakarta telah berjalan dengan baik. Sasaran program adalah perusahaan wajib daftar, perusahaan daftar sebagian, tenaga kerja di luar hubungan kerja, dan tenaga kerja di jasa kontruksi. Hasil dari program ini yaitu penambahan peserta Jamsostek. Dampak yang muncul adalah peningkatan perlindungan tenaga kerja dan ketaatan pengusaha-pengusaha terhadap peraturan Undang-Undang. Saran bagi PT. Jamsostek Surakarta berhubungan dengan penelitian ini adalah supaya PT. Jamsostek Surakarta lebih aktif dalam melakukan pendekatan langsung ke perusahaan-perusahaan, baik secara normatif maupun psikologis. Perlu adanya peningkatan kerjasama antara PT. Jamsostek Surakarta dengan dinas tertentu (Dinas Tenaga Kerja) untuk penegakan hukum bagi perusahaan yang belum mengikuti kepesertaan Jamsostek.

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pembangunan nasional merupakan bentuk penyelenggaraan negara yang bertujuan untuk mencapai tujuan negara. Dalam melaksanakan pembangunan nasional di negara Indonesia, tugas Pemerintah dibagi dua yaitu tugas umum pemerintahan dan tugas pembangunan. Tugas pembangunan merupakan tugas Pemerintah untuk menyelenggarakan pembangunan yang meliputi penyusunan rencana, pemrograman, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Tugas umum pemerintah merupakan kegiatan yang secara rutin dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka pemberian pengayoman dan pelayaanan pada masyarakat. Salah satu pihak yang berwenang melaksanakan tugas umum pemerintah yaitu organisasi publik. Organisasi publik selain berorientasi untuk mendapatkan keuntungan dari usahanya, satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah pelayanan pada masyarakat karena selain mempunyai misi ekonomi juga harus punya misi sosial. Salah satu contoh organisasi publik adalah Kantor Jaminan Sosial Tenaga Kerja ( JAMSOSTEK ) yang merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditunjuk oleh Pemerintah sebagai satu-satunya penyelenggara resmi program jaminan sosial tenaga kerja. PT. Jamsostek (Persero) berkedudukan di bawah Dinas Tenaga Kerja, dan bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan. Penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja bertitik tolak pada prinsip dasar atau visi dan misi Pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Visi Pemerintah dalam penyelenggaraan jaminan sosial adalah menciptakan masyarakat Indonesia yang beradab guna menuju masyarakat sejahtera. Sedangkan misi pemerintah dalam penyelenggaraan jaminan sosial adalah menciptakan dan mengusahakan hakhak warga negara yang berlaku universal. Sebagai program publik, Jamsostek memberikan hak dan membebani kewajiban secara pasti (compulsory) bagi pengusaha dan tenaga kerja berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992, berupa santunan tunai dan pelayanan medis, sedangkan kewajiban peserta adalah tertib administrasi dan membayar iuran. Program Jamsostek memberikan perlindungan bersifat dasar, untuk menjaga harkat dan martabat manusia, khususnya tenaga kerja, jika mengalami resikoresiko sosial ekonomi dengan pembiayaan yang terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja.

Program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai aspek, antara lain :
1. Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya.
2. Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan
tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja.
Bentuk perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraan yang diselenggarakan dalam bentuk program jaminan sosial tenaga kerja ini bersifat dasar dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan, dan gotong royong sebagaimana terkandung dalam jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut tercermin dalam pembiayaan jaminan sosial tenaga kerja sesuai dengan jumlah yang ditanggung oleh perusahaan dan tenaga kerja sesuai dengan jumlah yang tidak memberatkan beban keuangan
kedua belah pihak.

Ruang lingkup program Jamsostek berdasarkan UU No. 3 tahun 1992,
meliputi :
a. Jaminan berupa uang yang meliputi
1. Jaminan Kecelakaan Kerja
2. Jaminan Kematian
3. Jaminan Hari Tua

b. Jaminan berupa pelayanan, yaitu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan


Kantor cabang PT. Jamsostek (Persero) Surakarta merupakan badan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial dengan wilayah kerja yang meliputi kabupaten Sragen, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, dan kodya Surakarta. Kantor ini berdiri setelah ditetapkannya PP No. 33 Tahun 1977 tentang penyelenggaraan program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK) dan PP No. 34 Tahun 1977 tentang pendirian Perusahaan Umum Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Perum Astek). Lingkungan organisasi publik tidak hanya makin bergejolak dalam tahuntahun belakangan ini, tapi juga saling berhubungan secara lebih erat, sehingga dimana-mana perubahan dalam sistem menggema tak terduga dan seringkali
berbahaya. Gejolak yang makin meningkat dan saling bertautan ini memerlukan tanggapan dari organisasi dan komunitas publik.

B. Pembahasan
Menurut J.S Badudu dan Sutan Muhammad Zain, istilah evaluasi merupakan serapan dari bahasa Inggris yaitu ”evaluation” yang berarti penilaian (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1994 : 401). Mengevaluasi berarti menilai, memeriksa untuk menilai pekerjaan yang sudah dilakukan apakah hasilnya cukup, baik, atau buruk. Menurut Hunger & Wheelen, pengendalian dan evaluasi adalah proses membandingkan kinerja aktual organisasi dengan kinerja yang telah ditetapkan dan memberikan umpan balik yang diperlukan bagi pihak manajemen untuk mengevaluasi hasil-hasil yang diperoleh dan mengambil tindakan perbaikan bila diperlukan.(2003 : 384) Sedangkan menurut GR. Terry (Winardi, 1986 : 395) kontrol dan evaluasi dapat disebutkan dengan istilah pengawasan yang berarti mendeterminasi apa yang telah dilaksanakan, maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan tindakantindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencanarencana. Pariatra Westra dalam Ensiklopedia Administrasi mendefinisikan
evaluasi sebagai berikut : ”Pekerjaan yang dilakukan oleh seorang manajer yang berupa menetapkan perbedaan antara hasil yang benar-benar dicapai dengan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dicapai menurut rencana, serta menilai perbedaan-perbedaan tersebut. Kemudian dari penilaian itulah digunakan untuk menentukan langkah selanjutnya.” (1989 :
157) Adapun Marie Therese Faurstein memberi batasan evaluasi adalah ”menaksir nilai sesuatu”. Dalam hal ini evaluasi berarti membantu mereka yang terlibat dalam banyak jenis program pengembangan untuk menaksir nilai pekerjaan yang sedang mereka lakukan. Banyak diantara mereka yang telah melakukan monitoring terhadap pekerjaan mereka sendiri dan mungkin telah ikut serta dalam mengevaluasinya secara sistematis (Farid Wadjiji, 1990:8).
Evaluasi merupakan proses menilai hasil dari suatu kegiatan yang telah dilaksanakan dengan membandingkan antara hasil yang telah dicapai dengan tujuan atau target yang telah ditentukan. Dengan evaluasi ini bisa diketahui apakah suatu kegiatan telah berhasil atau gagal.
Hal yang penting dalam evaluasi, yaitu :
a. Tujuan evaluasi adalah untuk mengukur hasil dari pelaksanaan suatu kegiatan.
b. Penilaian dilakukan dengan mengacu pada tujuan dan target yang telah ditetapkan.
c. Hasil evaluasi merupakan pertimbangan untuk menentukan

Alkin mengemukakan bahwa “Evaluation is the process of accertaining the decision areas of concern, selecting appropriate information in order to report summary data useful to decision makers in selecting among alternatives”. Menurut Alkin, evaluasi program merupakan proses yang berkaitan dengan penyiapan berbagai wilayah keputusan melalui pemilihan informasi yang tepat, pengumpulan, dan analisis data, serta pelaporan yang berguna bagi para pengambil keputusan dalam menentukan berbagai alternatif pilihan untuk menetapkan keputusan.

Dalam Djudju Sudjana (2006 : 51) disebutkan pengelompokan model-model evaluasi program, terdiri dari enam kategori yaitu :
1. Evaluasi Terfokus pada Pengambilan Keputusan Evaluasi ini diarahkan untuk menghimpun, mengolah, dan menyajikan data sebagai masukan untuk pengambilan keputusan.
2. Evaluasi Unsur-unsur Program
3. Evaluasi Jenis dan Tipe Kegiatan
4. Evaluasi Pelaksanaan Program
5. Evaluasi Pencapaian Tujuan Khusus Program
6. Evaluasi Hasil dan Pengaruh Program

Evaluasi Program Perluasan Kepesertaan Jamsostek
Setelah mengetahui beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas, maka yamg dimaksud dengan evaluasi program Perluasan Kepesertaan adalah suatu penilaian terhadap proses pelaksanaan usaha perluasan kepesertaan untuk mencapai tujuan (yaitu penambahan peserta) dengan menggunakan sumber daya yang ada serta hasil/ manfaat dari proses pelaksanaan program tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan program Perluasan Kepesertaan PT. Jamsostek Surakarta yang termaktub dalam rencana kerjanya.

Kepala Bidang Pemasaran ini membawahi beberapa bagian antara lain :
1. Account Officer, mempunyai fungsi utama untuk melakukan perluasan dan pembinaan kepesertaan guna tercapainya target dan tertib administrasi.
2. Petugas Administrasi Pemasaran, mempunyai fungsi melaksanakan administrasi kegiatan bidang pemasaran untuk kelancaran kegiatan bidang pemasaran.
3. Account Officer Khusus, mempunyai fungsi untuk melakukan pendaftaran pembinaan kepesertaan program khusus guna tercapainya target kepesertaan, iuran dan peningkatan pelayanan program khusus. Yang dimaksud program khusus disini adalah timbal balik Jamsostek

Badan penyelenggara menyelenggarakan paket jaminanpemeliharaan kesehatan dasar yang meliputi pelayanan :
a. Rawat jalan tingkat pertama
b. Rawat jalan tingkat lanjutan
c. Rawat inap
d. Pemeriksaan kehamilan
e. Penunjang diagnostik
f. Pelayanan khusus

Dalam menyelenggarakan paket jaminan pemeliharaan kesehatan dasar, badan penyelenggara wajib :
a. Memberikan kartu pemelliharaan kesehatan kepada setiap peserta.
b. Memberikan keterangan yang perlu diketahui peserta mengenai jaminan pemeliharaan kesehatan yang diselenggarakan Pelaksanaan pemberian pelayanan dilakukan oleh pelaksana pelayanan kesehatan berdasarkan perjanjian tertulis dengan badan penyelenggara. Badan penyelenggara melakukan pembayaran kepada pelaksana pelayanan kesehatan secara praupaya dengan sistem kapitasi. Pemberian pelayanan oleh pelaksana pelayanan kesehatan dilakukan sesuai dengan kebutuhan medis yang nyata dan standar pelayanan medis yang berlaku dengan tetap memperhatikan mutu pelayanan.

Jumlah target sasaran program Perluasan Kepesertaan Jamsostek di PT. Jamsostek Surakarta tahun 2008 yang hendak dicapai sebagai berikut :
Ø Target perusahaan
- Program Paket (PWBD/PDS) 92 perusahaan
- Program Khusus (jasa kontruksi) 602 proyek
Ø Target Tenaga Kerja
- Program Paket (PWBD/PDS) 19384 orang
- Program Khusus (jasa kontruksi) 36655 orang
- Program TKLHK 1625 orang
Jumlah target sasaran di atas ditetapkan dari kantor Jamsostek pusat. Penetapannya berdasarkan ajuan perkiraan dari kantor cabang (PT. Jamsostek Surakarta) dengan mendasarkan pencapaian target pada tahun sebelumnya.

C. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis, dapat
disimpulkan tentang evaluasi pelaksanaan program Perluasan Kepesertaan
Jamsostek oleh PT. Jamsostek Surakarta. Dalam penelitian ini menggunakan
model CIPP (Context, Input, Process, Product)

 Sasaran Pelaksanaan Program
Sasaran program Perluasan Kepesertaan Jamsostek adalah :
· Perusahaan Wajib Belum Daftar (PWBD)
· Perusahaan Daftar Sebagian (PDS)
· Tenaga Kerja yang bekerja di Luar Hubungan Kerja (TKLHK) atau disebut pula tenaga kerja informal.
· Tenaga Kerja (TK) di jasa kontruksi.

DAFTAR PUSTAKA
Djudju Sudjana. 2006. Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah. Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya.
Farid Wadjiji. 1990. Evaluasi Partisipatoris. Jakarta : P3M.
H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press.
Hunger J. David dan L. Wheelen Thomas. 2002. Manajemen Strategis.
Yogyakarta : Andi Yogyakarta.
Husein Umar. 2002. Evaluasi Kinerja Perusahaan. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama.
J. S. Badudu dan Sutan Muhammad Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta : PT. Gramedia Jakarta
Lexy J. Moleong. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Pariatra Westra. 1989. Ensiklopedia Administrasi. Jakarta : Haji Mas Agung.
Pariatra Westra. 1983. Manajemen Pembangunan Daerah. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Samodra Wibawa, dkk. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Soenarko S.D. 2000. Public Policy (Pengertian Pokok untuk Memahami dan
Analisa Kebijaksanaan Pemerintah). Surabaya : Airlangga University
Press.

Sumber Lain :
http://id.answers.yahoo.com
PP No. 33 Tahun 1977 tentang penyelenggaraan program Asuransi Sosial Tenaga
Kerja (ASTEK)
PP No. 34 Tahun 1977 tentang pendirian Perusahaan Umum Asuransi Sosial
Tenaga Kerja (Perum Astek)
Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
www.elsevier.com. Evaluation : The International Journal of Theory, Research
and Practice, p. 98, Vol. 14. Thomson Reuters 2007, Tavistock Institute,
London, UK
www.sagepub.com. What is Program Evaluation p. 101. Vol. 11, Gene Shackman,
2007, Washington DC

Referensi : http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=showview&id=11276

Jurnal Anti Monopoli


Nama kelompok :
Ø Ade Irene Febri L
Ø Dimas Agung P
Ø Levian
Ø Rezky Izhardi
Ø Rina Rismawati
Kelas : 2 EB 05

JURNAL LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENGECUALIAN TERHADAP BADAN USAHA KOPERASI
Nama pengarang        :  Andjar Pachta Wirana
Penulis adalah             : Staf Pengajar Fakultas Hukum di Universitas Indonesia

ABSTRAK
            Artikel ini dikerjakan dengan 2 peraturan menulis. Mengenai status koperasi dan anti pembatasan monopoli. Dibawah ini pembentukan koperasi Republik Indonesia sebagai satuan usaha orang-orang untuk memudahkan tentang kebijakan ekonomi. Kebijakan itu membidikan dikirim untuk melebarkan bagian melalui sistem ekonomi yang mana tertutup untuk orang. Dia tau sebagai orang ekonomi dengan sistem prinsip melebarkan, menyebarkan, dan nasional demokrasi ekonomi. Pengarang mengakui untuk pemberian satu pengecualian untuk bekerja sama mengabaikan kearah peraturan anti monopoli. Pengecualian itu sendiri adalah dengan sangat jelas, memantulkan satu perlindungan sah dari pemerintah untuk orang ekonomi. Perlindungan tentang perisai dan memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama dan kesatuan pekerjaan untuk mengembangkan dan menjadi kuat dan bisnis mereka seimbang.

PENDAHULUAN
Kedudukan badan usaha koperasi didalam sistim perekonomian Negara Indoneia memiliki dasar hukum yang kuat dan disebut secara eksplisit dalam konstitusi-konstitusi , pemerintahan, sejak dari tahun pertama kemerdekaan Republik Indonesia, dalam politik ekonominya, selalu berusaha memberdayakan badan usaha koperasi dengan membuat kebijakan-kebijakan ekonomi yang memberikan porsi yang “Luas” terhadap pengembangan dan perkembangan usaha koperasi secara nasional dalam rangka mewujudkan perekonomian yang berpihak kepada rakyat-rakyat yang kita kenal sekarang.

KAJIAN PUSTAKA
Peraturan perundang-undangan
Indonesia,        UUD 1945. Naskah Asli berikut Amandemen I, II, III, dan IV.
                        UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
UU No.5 Tahun 1999 tentang Landasan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Keputusan Presiden No.127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha yang Terbuka Untuk Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan.

METODELOGI
                Metode pendekatan secara Yuridis dan Empiris
Dapat kita baca kritikan yang diberikan masyarakat tentang pengembangan koperasi dalam skala nasional yang masih akrab dengan permasalahan dalam mengembangkan lembaganya. Secara empiris,permasalahan itu dapat dikelompokkan dalam :
1.       Iklim usaha yang tidak menunjang lembaga koperasi dalam menjalakan usahanya, meskipun pemerintah telah memberikan berbagai kemudahan-kemudahan.
2.       Pola kerjasama antar lembaga koeprasi dalam menjalankan usahanya secara holistik belum terwujud, sehingga interaksi-usaha baik secara horizontal maupun vertikal masih harus dibenahi agar dapat membuka ruang yang cukup bagi perkembangan usaha dari lembaga-lembaga koperasi  yang ada disekitarnya.
3.       Kesadaran terhadap fungsi koperasi  secara maksimal dapat membawa kemanfaatan bersama masih harus dibenahi secara serius.
4.       Keterbatasan pengalaman dan pengetahuan dibidang menejemen usaha, informasi, dan lain-lain.
PEMBAHASAN

I. Pengertian Badan-Usaha Koperasi
                Dari sudut etimologis, kata “Koperasi” pada mulanya berasal dari dua kata dalam bahasa latin, yaitu : CUM dan APERARI yang berarti “dengan bekerjasama”.
Dalam pengertian bahasa Indonesia, sekarang ini kata Koperasi membawa pengertian kepada sebuah lembaga organisasi ekonomi dengan beranggotakan orang-orang yang mempunyai kepentingan ekonomi yang sama, yang sifatnya “sukarela”. Sehingga dapat kita simpulkan menjadi rangkaian kalimat, “Koperasi adalah suatu perkumpulan atau organisasi ekonomi yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan usaha (koperasi) yang aggotanya bebas untuk keluar masuk sebagai anggota, melakukan kerjasama secara kekeluargaan dalam lingkup ketentuan yang mereka buat sendiri berdasarkan ketentuan yang berlaku, untuk mencapai tujuan yang mereka rumuskan secara bersama-sama pula. Dengan demikian, pengertian Badan usaha koperasi, lebih lanjut dapat diartikan sebagai salah satu dari ‘kendaraan’ usaha yang dibentuk oleh para pendiri dan anggota dari sebuah perkumpulan koperasi untuk melaksanakan kegiatan usahanya.

II. Dasar Hukum, Fungsi dan Tujuan Badan usaha koperasi
A.     Dasar Hukum
Dasar hukum lembaga koperasi di Indonesia adalah Konstitusi negara, UUD 1945. Dengan demikian, di negara kita Indonesia, satu-satunya bangun usaha yang mendapat mandat langsung dari konstitusi negara adalah Koperasi.
Untuk itu, dalam penjelasan Konstitusi tersebut secara gamblang dapat dibaca, bahwa sistim ekonomi Indonesia didasarkan pada “asa” Demokrasi Ekonomi. Tetapi tidak cukup dengan dasar hukum saja, politik negara kita secara implisit maupun eksplisit memberikan perlindungan dan perlakuan khusus kepada bangun usaha koperasi baik dalam bentuk pembinaan yang dilakukan pemerintah secara langsung maupun tidak langsung, maupun memberikan “perlakuan khusus” terhadap setiap lembaga ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk Koperasi.
B.      Fungsi dan Tujuan Koperasi
Fungsi Koperasi, menurut Moh. Hatta dalam pidato-radio yang berjudul Membangun koperasi dan koperasi membangun, antara lain mengatakan bahwa koperasi menurut waktu, tempat, dan keadaan, adalah meliputi 7 hal yaitu :
1.      Memperbanyak produksi
2.      Memperbaiki kwalitas barang
3.      Memperbaiki distribusi
4.      Memperbaiki harga
5.      Menyingkirkan penghisapan dari lintah darat
6.      Memperkuat pemaduan capital
7.      Memelihara lumbung simpanan padi
Dari 7 hal tersebut, dalam kurun waktu abad milinium ini ternyata masih tetap relevan, terutama dari sudut ketahanan ekonomi rakyat dengan menggunakan badan usaha Koperasi sebagai wadah dan kendaraan untuk menjalankan usaha. Sehingga jika ketujuh hal tersebut dijalankan secara konsekwen dalam berkoperasi maka koperasi yang berada diseluruh Indonesia ini dapat berfungsi sebagai ‘kendaraan’ dan ‘wadah’ berkumpulnya anggota dalam meningkatkan taraf kehidupan ekonomi mereka.
III. Kebeadaan badan usaha koperasi dalam perekonomian Indonesia
            Keberadaan badan usaha koperasi di wilayah negara Indonesia tercantum dalam konstitusi negara Republik Indonesia, dengan demikian eksistensinya dijamin oleh Konstitusi. Dalam kesempatan lain Mubyarto ditahun 1989, menyebutkan bahwa di Indonesia dikenal ada 3 kelompok organisasi ekonomi atau badan usaha, yaitu :
1.      Sektor ekonomi negara, yang berorientasi pada pelayanan kepada kepentingan umum dan rakyat banyak
2.      Sektor ekonomi swasta, yang berorientasi pada menjalankan usaha untuk memupuk keuntungan maksimal
3.      Sektor ekonomi koperasi, yang berorientasi pada kerjasama dengan asas kekeluargaan, untuk memperpanjang dan memajukan tingkat perekonomian para anggotanya.
IV. Konsep persaingan usaha yang sehat
            Konsep persaingan usaha yang sehat, berisi 3hal pokok sekaligus dijadikan objek yang ‘dilarang’ yang dijadikan ‘wilayah’ untuk melihat apakah ada persaingan usaha yang tidak sehat.
1.      Lingkup kesepakatan, persekongkolan, atau perjanjian
2.      Lingkup kegiatan
3.      Lingkup dominasi
Konsep persaingan usaha yang sehat yang diatur didalam UU No.5 tahun 1999 adalah menjaga harmonisasi atau keseimbangan antara para produsen (termasuk: distributor dan para pedagangnya) dengan konsumen.


V. Persaingan usaha yang sehat dan badan usaha koperasi
            Manfaat utama dari adanya ketentuan hukum tentang persaingan yang sehat terhadap koperasi secara langsung adalah memberikan “kesempatan” untuk menjalankan usaha seluas mungkin demi meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan para anggotanya. Dalam pengertian hukum dijabarkan sebagai ‘mencegah’ terjadinya perbuatan curang, kalaupun terjadi perbuatan curang maka telah ada ketentuan hukum yang mengatur tentang sanksi-sanksinya.

VI. Pembinaan badan usaha koperasi dan pengaruhnya terhadap persaingan usaha
1.      Hambatan dalam membina badan usaha koperasi
Hambatan yang selama ini dirasakan secara umum dan menjadi penghalang dalam mengembangkan usaha koperasi dapat disebabkan dari faktor internal maupun dari faktor eksternal. Secara internal, umumnya dari sudut ‘kemampuan teknis’ yang dimiliki oleh koperasi itu sendiri, yang dapat meliputi faktor-faktor :
a.      Menejemen
b.      Pengalaman
c.       Jaringan usaha
d.      Modal terbatas
e.      Serta kesadaran dari anggota baik secara individu maupun kolektif.
Hambatan yang berasal dari internal koperasi, memang paling banyak kita ketemukan dimasyarakat.
Sedangkan secara eksternal, umumnya berasal dari kebijakan pemerintah yang sering tidak konsisten bahkan kontradiktif yang berakibat pada iklim yang tidak kondusif bagi perkembangan usaha koperasi.

2.      Peluang terciptanya ekonomi kerakyatan dalam konteks koperasi sebagai sistim perekonomian
Pengecualian terhadap koperasi yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan tentang persaingan usaha yang sehat, harus dijadikan dasar yuridis dalam menciptakan peluang-peluang usaha koperasi secara luas. Koperasi dapat menjadi lembaga usaha dalam sistem perekonomian nasional, karena keberadaan koperasi baik sebagai sistem maupun lembaga ekonomi dapat hadir dimasyarakat kebanyakan dalam arti stara sosial paling bawah hingga di strata sosial tingkat atas dalam ukuran nasional bahkan internasional.



Kesimpulan

            Berdasarkan diskusi diatas, ada 4 kesimpulan yang dapat diberikan oleh penulis dalam diskusi terbatas ini, yaitu sebagai berikut :
1.      Dalam kedudukan koperasi selaku lembaga yang menjalankan usaha, maka bukan tidak mungkin pda suatu periode dan situasi tertentu badan usaha koperasi itu dapat masuk dalam kategori menjalankan praktek monopoli. Dengan demikian, apabila kondisi tersebut dipenuhi, maka ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang larangan praktek melakukan usaha yang tidak sehat dapat berlaku
2.      Beberapa persyaratan yang diberikan kepada lembaga usaha koperasi untuk dapat dikecualikan ari ketentuan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat tersebut antara lain dari segi permodalan dan luas lingkup pelayanan yang diberikan oleh badan usaha koperasi tersebut. Disamping itu, karena ketentuan larangan monopoli itu dibuat untuk menjaga harmonis kehidupan lembaga-lembaga usaha yang ada. Maka kretaria dan ukuran dari lembaga usaha kecil (UKM) dan koperasi memang harus diperjelas dan dievaluasi dari waktu ke waktu
3.      Mengingat bahwa lembaga usaha koperasi merupakan usaha yang dibangun oleh kumpulan orang-orang (rakyat kecil) yang mempunyai modal terbatas dalam rangka meningkatkan kemampuan ekonomi anggotanya, maka pengecualian yang diberikan kepada badan usaha koperasi itu diawali dengan niat pemerintah dalam hal memberikan dasar yuridis kepada lembaga-lembaga koperasi untuk mendapat kesempatan luar dalam memulai, menjalankan, dan mengembangkan usahanya secara luas, terutama untuk mengingkatkan kesejahteraan ekonomi para anggotanya.
4.      Hal-hal yang sering menjadi penghambat dilapangan dalam menjaga eksistensi usaha koperasi dan pengembangan usahanya adalah sikap pemerintah yang sering mendua dalam mengeluarkan kebijakan dengan memberikan porsi-porsi usaha yang sudah ditekuni dan dijalankan dengan baik oleh koperasi kepada pendatang baru dari kalangan lembaga usaha yang non-koperasi.






Refrensi
Assiddiqie, Jimly. Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan Ke-empat. Pusat Study Hukum Tata Negara, FHUI Jakarta, 2002.
Hadikusuma, R.T. Sutantya Rahardja. Hukum koperasi Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Hendrajogi. Koperasi: Azas-azas, Teori dan Praktek. Jakarta: Rajawali Press, 1997.
Kwik, Kian Gie. “MPR dan Ekonomi Kerakyatan”. Kompas, 16 November 1996.
Mubyarto. Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta: LP3ES, 1987
Mutis, Thoby. Pengembangan koperasi: Kumpulan karangan. Jakarta: Grasindo. 1992
Ragam koperasi di Manca Negara. Jakarta: Media Ekonomi Publishing, 1999.
Rachbini, Didik.J., Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi. Jakarta: Grasindo, 2001.
Rahardjo, Dawam. Apa kabar koperasi Indonesia. Jakarta: Kompas Cyber Media, 2002.
Swasono, Sri Edi (Ed.). Mencari Bentuk, Posisi, dan Realitas Koperasi di dalam Orde Ekonomi Indonesia. Cet. Ke-2, Jakarta: UI Press, 1985.
Lapenkop Bukopin. Lebih mengenal koperasi, Anggaran dasar koperasi, Rapat Anggota, SHU Anggota Koperasi. Cet. Ke-3, Bandung: Lapenkop Bukopin, 1999.
Widiyanti, Ninik dan Sunindhia. Koperasi dan Perekonomian Indonesia. Cet. Ke-3, Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Wiradiputra, Ditha. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia: Perjanjian yang dilarang. Lembaga Kajian Persaingan Usaha dan kebijakan Usaha. FHUI Jakarta, 2003.

Review Jurnal Hukum Perikatan

Urgensi Hukum Perikatan Islam dalam
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Oleh: Achmad Fauzi1
Abstract

Artikel ini ditujukan untuk mengawasi gugatan hukum syariah ekonomi melalui litigasi di pengadilan dengan menganalisis kemampuan hakim dalam gugatan ini. Masalah ini penting karena setiap kegiatan ekonomi syariah didasarkan pada apa isi kontrak (akad). Artikel analisis hukum keterlibatan berdasarkan hukum atau sipil Indonesia Borgelijk Wetboek (BW), hukum konvensi berdasarkan kompilasi hukum ekonomi syariah, pengadilan syariah otoritas, dan langkah-langkah solusi ekonomi syariah gugatan melalui litigasi. Ini menyimpulkan bahwa seorang hakim harus mampu menggali keadilan material, termasuk dalam hukum perdata sehingga keputusannya bertujuan untuk reformasi dan penemuan hukum (rechtsvinding). Sebagai yurisdiksi baru untuk pengadilan syariah, gugatan ekonomi syariah memiliki instrumen hukum masih beberapa yang menyiratkan perlunya seorang hakim untuk mengawasi nilai-nilai keadilan yang hidup pada manusia. Perumusan keputusan hukum syariah ekonomi tidak harus dipisahkan dari hukum syariah keterlibatan.

1.      Pendahuluan

Ada dua opsi yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, yakni melalui proses litigasi di pengadilan atau non litigasi. Pengadilan Agama adalah lembaga kekuasaan kehakiman yang memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi syariah. Hal ini sesuai dengan asas personalitas keislaman dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 49 huruf i Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Pasal 55 angka 1 Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah). Sedangkan jalur non litigasi meliputi bentuk alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution) dan arbitrase. Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10 UU No.30 Tahun 1999).

2.      Hukum Perikatan dalam Borgelijk Wetboek (BW)

Secara etimologi Undang-Undang tidak menjelaskan apa yang dimaksud daripada perikatan. Begitu pula Code Civil Perancis maupun Borgelijk Wetboek (BW) Belanda yang merupakan concodantie BW kita. Secara etimologi perikatan (Verbintenis) berasal dari kata kerja “verbinden” yang artinya mengikat (ikatan atau hubungan). Verbintenis bisa disebut dengan istilah perikatan, perutangan, atau perjanjian. Perikatan bisa diartikan juga setuju atau sepakat, dari arti kata overeenkomen.
Menurut terminologi, perikatan merupakan suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara sejumlah terbatas subyek hukum. Sehubungan dengan itu, seseorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu atas sesuatu prestasi terhadap pihak yang lain (kreditur atau para kreditur). Jadi unsur-unsur perikatan meliputi hubungan hukum, kekayaan, pihak-pihak dan prestasi.
Apabila debitur tidak melakukan apa yang telah diperjanjikan, maka ia dikatakan melakukan wanprestasi. Kreditur dapat menuntut pemenuhan parikatan, pemenuhan perikatan dengan ganti rugi, ganti rugi, pembatalan persetujuan timbale balik, pembatalan dengan ganti rugi, dan pembatalan debitur yang dituduh lalai.
Seorang debitur yang lalai dapat mengajukan pembelaan diri dengan mengajukan beberapa alasan yang membebaskan hukum, yaitu keadaan memaksa (overmacht/force majure), kreditur juga melakukan kelalaian (exception nonadimpleti contractus), kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtsverweking).
Jika hukum benda memiliki suatu sistem tertutup, maka hukum perikatan menganut sistem terbuka (Aanvullenrecht). Artinya, para pihak boleh membuat aturan-aturan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal perjanjian. Akan tetapi jika mereka tidak mengatur sendiri, berarti mengenai perkara tersebut, mereka akan tunduk kepada undang-undang. Sistem terbuka yang mengandung asas kebebasan berkontrak disimpulkan dari pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” (pacta sunt servanda).
Sistem terbuka juga mengandung pengertian bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu KUHP dibentuk. Dalam hukum perjanjian juga berlaku asas konsensualisme, yakni pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah dan mengikat apabila telah tercapai kesepakatan mengenai hal yang pokok dari perjanjian itu. Misalnya, mengenai barang dan harga dalam jual beli.
Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari ketentuan pasal 1320 KUHPer yang berbunyi “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat; kesepakatan mereka yang mengikat dirinya (the consent of those who bind themselves), kecakapan untuk membentuk suatu perikatan (the capability to make an agreement), suatu hal tertentu (a particular object), suatu sebab yang halal (a lawful cause/oorzaak)”. Syarat “kata sepakat dan cakap” disebut sebagai syarat subjektif yang apabila tidak dipenuhi mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar). Sedangkan syarat “suatu hal tertentu dan sebab yang halal” disebut sebagai syarat objektif yang apabila tidak dipenuhi menimbulkan perjanjian batal demi hukum (nietig).

3.      Hukum Perjanjian dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)

Perjanjian dalam bahasa Arab lazim disebut dengan akad. Dalam pasal 20 angka 1 KHES dirumuskan bahwa akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Pada pasal 22 disebutkan rukun akad terdiri atas; pihak yang melakukan akad, objek akad, tujuan pokok akad, dan kesepakatan.
Pihak yang berakad disebut juga subjek hukum. Dalam pasal 1 angka 2 subjek hukum adalah orang perorangan, persekutuan atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum yang memiliki kecakapan hokum untuk mendukung hak dan kewajiban. Kategorinya dalam pasal 2 ayat 1 adalah minimal sekurang-kurangnya berumur 18 tahun atau pernah menikah. Jika terbukti dalam persidangan pemohon tidak memenuhi criteria, maka menurut pasal 4 harus mendapat perwalian. Selain mereka yang dibawah umur, pasal dalam KHES juga menentukan perwalian kepada orang dewasa yang tidak cakap hukum.
Pasal 6 KHES menentukan kewenangan pengadilan dalam kaitan dengan perwalian. Ayat 1, pengadilan berwenang menetapkan perwalian bagi orang yang dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Ayat 2, pengadilan berwenang menetapkan orang untuk bertindak sebagai wali sebagaimana dimaksud pada ayat 1. kemudian pada pasal 7 disebutkan bahwa pengadilan dapat menetapkan orang yang berutang berada dalam perwalian berdasarkan permohonan orang yang berpiutang. Kata-kata pengadilan dalam ketentuan di atas harus dibaca Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.
KHES menggunakan istilah Muwalla untuk menyebut orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum dan ditetapkan dalam perwalian. Lebih lanjut pasal 9 menjelaskan bahwa muwalla dapat melakukan perbuatan hukum yang menguntungkan dirinya, meskipun tidak mendapatkan izin wali; tidak dapat melakukan suatu perbuatan hukum yang merugikan dirinya, meskipun atas izin wali; keabsahan perbuatan hukum muwalla atas hak kebendaannya yang belum jelas akan menguntungkan atau merugikan dirinya bergantung pada izin wali; apabila terjadi perselisihan antara muwalla dengan wali, muwalla dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk ditetapkan bahwa yang bersangkutan memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum.
Rukun kedua dari akad adalah objek akad. Pasal 24 KHES menyebut bahwa objek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan dan dibutuhkan oleh masingmasing pihak. Pengertian amwal pada pasal 1 angka 9 adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan dan dialihkan, baik benda berwujud maupun abstrak, baik benda terdaftar maupun tidak terdaftar, benda bergerak atau tidak bergerak, dan hak yang mempunyai nilai ekonomis. Dalam pengertian tersebut dapat dikemukakan macam perbedaan pengertian benda antara lain;
1. Benda berwujud dan tidak berwujud
a. Benda berwujud adalah benda yang dapat diindera (pasal 1 angka 10).
b. Benda tidak berwujud adalah segala sesuatu yang tidak adapat diindera (pasal 1 angka 11).
2. Benda bergerak dan tidak bergerak
a. Benda bergerak adalah segala sesuatu yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain (pasal 1 angka 12).
b. Benda tidak bergerak adalah segala sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain yang menurut sifatnya dietntukan oleh Undang-Undang (pasal 1 angka 13).
3. Benda terdaftar dan tidak terdaftar
a. Benda terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan warkat yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang (pasal 1 angka 14) .
b. Benda tidak terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan alat bukti pertukaran atau pengalihan di antara pihak-pihak (pasal 1 angka 15).

Selain itu dalam pasal 1 angka 9 disebutkan juga bahwa amwal adalah hak yang memiliki nilai ekonomis. Uang dan surat berharga masuk dalam ketegori ini. Hanya saja uang bukanlah sebagai komoditas, melainkan sebagai alat pembayaran yang sah. Rukun ketiga dari akad adalah tujuan pokok akad. Ketentuan khusus tentang hal ini disebutkan pada pasal 25 KHES yang menyatakan bahwa akad bertujuan memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang melakukan akad. Namun tidak semua tujuan dibenarkan karena tujuan yang dibenarkan hanyalah untuk akad yang sah. Pasal 28 ayat (1) menyatakan akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya. Akad tidak sah apabila bertentangan dengan syariat Islam, peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, kesusilaan (pasal 26 KHES).
Pasal 27 dan 28 disebutkan bahwa hukum akad terbagi dalam 3 kategori;
1. Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya;
2. Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya namun terdapat hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat;
3. Akad yang batal adalah akad yang kurang syarat dan rukunnya.

Rukun akad yang keempat adalah kesepakatan. Dalam KHES tidak ditemukan aturan tentang kesepakatannya sendiri, hanya diatur cacatnya sebuah kesepakatan, yakni apabila dalam akad tersebut mengandung unsur ghalat (khilaf), ikrah (paksaan), taghrir (tipuan), dan gubhn (penyamaran). Berdasarkan hal ini ada 4 hal yang menyebabkan cacatnya sebuah kesepakatan;
1. Ghalath atau khilaf
Pasal 30 menyatakan kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu akad kecuali khilaf itu terjadi mengenai hakikat yang menjadi pokok perjanjian;

2. Ikrah atau paksaan
Pasal 31 menyatakan paksaan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu bukan berdasar pilihan bebasnya dan pasal 32 menyebutkan bahwa paksaan dapat menyebabkan batalnya akad apabila pemaksa mampu untuk melaksanakannya, pihak yang dipaksa memiliki persangkaan yang kuat bahwa pemaksa akan segera melaksanakan apa yang diancamkannya apabila tidak patuh pada perintah pemaksa, yang diancamkan benar-benar menekan kondisi jiwa orang yang diancam, ancaman akan dilaksanakan secara serta merta, paksaan bersifat melawan hukum.

3. Taghrirat atau tipuan
Dalam pasal 33 KHES disebutkan bahwa penipuan adalah pembentukan akad melalui tipu daya. Dengan dalih untuk kemaslahatan, tetapi kenyataannya untuk memenuhi kepentingannya sendiri. Pasal 34 menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan suatu akad.

4. Gubhn atau penyamaran
Pasal 35 KHES menegaskan penyamaran sebagai keadaan yang tidak imbang antara prestasi dengan imbalan prestasi dalam suatu akad.

Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi berlakunya perjanjian adalah karena kekeliruan, perbuatan curang, pengaruh tidak pantas, dan ketidakcakapan dalam membuat perjanjian. Hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah berkenaan dengan asas akad.
Pasal 21 menyatakan bahwa akad dilakukan berdasar 11 asas:
a. Sukarela/ikhtiyari (setiap akad dilakukan berdasarkan kehendak para pihak dan bukan karena keterpaksan);
b. Menepati janji/amanah (setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak);
c. Kehati-hatian/ikhtiyati (setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang);
d. Tidak berubah (setiap akad memiliki tujuan yang jelas dan terhindar dari spekulasi);
e. Saling menguntungkan (setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga terhindar dari manipulasi);
f. Kesetaraan/taswiyah (para pihak yang melaksanakan akad memiliki kedudukan yang setara, memiliki hak dan kewajiban yang simbang);
g. Transparansi (akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara\ terbuka);
h. Kemampuan (akad dilakukan sesuai kemampuan para pihak);
i. Kemudahan/taisir (akad memberi kemudahan bagi masing-masing pihak untuk melaksanakannya);
j. Itikad baik (akad dilaksanakan dalam rangka menegakkan kemaslahatan);
k. Sebab yang halal (akad tidak bertentangan dengan hukum).

Perjanjian yang tidak dilaksanakan dengan itikad baik sering disebut dengan wanprestasi atau ingkar janji. Dalam pasal 36 KHES dikatakan bahwa pihak dikategorikan melakukan ingkar janji apabila tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikan namun tidak sebagaimana yang dijanjikan, melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak dibolehkan. Pihak yang ingkar janji menurut pasal 38 KHES dapat dijatuhi sanksi berupa pembayaran ganti rugi, pembatalan akad, peralihan resiko, denda dan pembayaran biaya perkara. Khusus mengenai pembayaran ganti rugi, pasal 39 KHES menyatakan bahwa pembayaran ganti rugi dapat dijatuhkan apabila pihak yang melakukan wanprestasi setelah dinyatakan ingkar janji tetap melakukan ingkar janji, sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya, pihak yang melakukan ingkar janji tidak dapat membuktikan bahwa perbuatan ingkar janjinya tidak dibawah paksaan.

4.      Kewenangan Absolut Pengadilan Agama terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

Pengadilan Agama memiliki kewenangan mutlak untuk menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah. Hal ini didasarkan atas ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.”. Sebelum diundangkannya UU No.3 Tahun 2006 tersebut memang belum pernah ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus melimpahkan kewenangan kepada pengadilan tertentu untuk memeriksa dan mengadili perkara ekonomi syari’ah.
Meskipun Pengadilan Agama telah diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, perangkat hukum materiil maupun perangkat hukum formil perlu terus dibenahi. Lahirnya UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan PERMA No. 02 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) tidak serta merta mencukupi kebutuhan hakim dalam melakukan tugas-tugas barunya, sehingga perlu dilakukan terobosan hukum guna memenuhi perkembangan kebutuhan hokum masyarakat.
Terobosan tersebut adalah pertama: dengan melakukan penafsiran argumentum per analogian (analogi), yakni dengan memperluas berlakunya peraturan perundangundangan yang mengatur tentang kegiatan ekonomi pada umumnya terhadap kegiatan ekonomi syari’ah karena adanya persamaan-persamaan antara keduanya; kedua: dengan menerapkan asas lex posterior derogat legi apriori, yakni bahwa hokum yang baru mengalahkan hukum yang lama. Dengan demikian, maka ketentuanketentuan hukum lama yang dahulu tidak berlaku pada Pengadilan Agama menjadi berlaku karena adanya kesamaan-kesamaan antara keduanya dan aturan-aturan yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah yang dahulu bukan menjadi kewenangan Pengadilan Agama maka sekarang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dengan adanya UU No.3 Tahun 2006, sepanjang berkenaan dengan ekonomi syari’ah.
Diantara peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan ekonomi adalah UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) dan UU No.4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan. Melalui penafsiran argumentum per analogian (analogi), maka ketentuan UU No.30 Tahun 1999 dan UU No.4 Tahun 1998 tersebut diberlakukan pada Pengadilan Agama. Kata-kata ‘Pengadilan Negeri’ atau ‘peradilan umum’ dalam Undang-Undang tersebut dapat diberlakukan pada ‘Pengadilan Agama’ atau ‘peradilan agama’ sepanjang menyangkut ekonomi syari’ah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 jis UU No.30 Tahun 1999 dan UU No.4 Tahun 1998, maka kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani perkara ekonomi syari’ah ini meliputi:
1. Menunjuk arbiter dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter (Pasal 13-15 UU No.30 Tahun 1999);
2. Memutus hak ingkar yang diajukan oleh para pihak atau salah satu dari mereka terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Agama (Pasal 22-25 UU No.30 Tahun 1999);
3. Mendaftar keputusan Basyarnas yang harus didaftarakan dalam tempo 30 hari sejak putusan diucapkan (Pasal 59 UU No.30 Tahun 1999);
4. Melaksanakan keputusan badan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) dan keputusan Basyarnas melalui eksekusi paksa manakala diperlukan (Pasal 59-63 UU No.30 Tahun 1999). Keputusan tersebut dapat dieksekusi oleh Pengadilan Agama manakala telah terdaftar sebelumnya di Kepaniteraan Pengadilan Agama selambat-lambatnya 30 hari setelah penandatanganan keputusan tersebut (Pasal 6 ayat (7) UU No.30 Tahun 1999). Apabila ketentuan ini tidak diindahkan maka keputusan tersebut tidak dapat dieksekusi (Pasal 59 ayat (4) UU No.30 Tahun 1999);
5. Menyatakan pailit debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membeyar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (Pasal 1 ayat (1) UU No.4 Tahun 1998);
6. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah (Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006).

5.      Langkah Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Litigasi

Proses penyelesaian perkara ekonomi syari’ah melalui jalur litigasi dilakukan dengan terlebih dahulu memeriksa apakah syarat administrasi perkara telah tercukupi atau belum. Administrasi perkara ini meliputi berkas perkara yang di dalamnya telah ada panjar biaya perkara, nomor perkara, penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera sidang. Apabila syarat tersebut belum lengkap maka berkas dikembalikan ke kepaniteraan untuk dilengkapi, apabila sudah lengkap maka hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada juru sita agar para pihak dipanggil untuk hadir dalam sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim dalam surat Penetapan Hari Sidang (PHS). Hakim memeriksa syarat formil perkara yang meliputi kompetensi dan kecakapan penggugat, kompetensi (kewenangan) Pengadilan Agama baik secara absolut maupun relatif, ketepatan penggugat menentukan tergugat (tidak salah menentukan tergugat), surat gugatan tidak obscuur, perkara yang akan diperiksa belum pernah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (tidak ne bis in idem), tidak terlalu dini, tidak terlambat, dan tidak dilarang oleh undang-undang untuk diperiksa dan diadili oleh Pengadilan. Apabila ternyata para pihak telah terikat dengan perjanjian arbitrase, maka Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya (Pasal 3 UU No.30 Tahun 1999). Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat melanjutkan untuk memeriksa pokok perkara. Dalam persidangan ini, tugas pertama dan utama hakim adalah berusaha mendamaikan kedua belah pihak sesuai dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang mediasi. Apabila tercapai perdamaian, maka hakim membuat akta perdamaian. Apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan ke tahap berikutnya. Hakim melakukan konstatiring terhadap dalil-dalil gugat dan bantahannya melalui tahap-tahap pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, dan pembuktian. Hakim melakukan kualifisiring melalui kesimpulan para pihak dan musyawarah hakim. Hakim melakukan konstituiring yang dituangkan dalam surat putusan.
Dalam memeriksa dan mengadili tingkat pertama sengketa ekonomi syariah, hukum perikatan Islam memang memiliki kedudukan penting. Sebab, segala bentuk peristiwa hukum mengenai kegiatan ekonomi syariah diawali dengan akad yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Tanpa menguasai hukum perikatan Islam, mustahil hakim dapat memutus dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dengan benar dan adil.
Ekonomi syariah merupakan yurisdiksi baru Pengadilan Agama. Istilah ekonomi syariah merupakan hal spesifik di Indonesia karena istilah tersebut hamper tidak dikenal di negara-negara Islam lainnya. Di banyak negara dan di lingkungan akademik dikenal dengan istilah “Ekonomi Islam” atau “Islamic Economic” sebagai padanan dari istilah Arab “al-Iqtishadi al-Islami”.
Ekonomi syariah dapat didefinisikan perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun syariah, bisnis syariah dan lain-lain.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah “suatu perjanjian (timbal balik), dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu (onzeker vooral).”

1. Bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menerangkan bahwa Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.

2. BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan syariah terdiri dari 2 istilah yakni baitul maal dan baitut tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha pengumpulan dan penyaluran dana nonprofit (ZIS). Baitut tamwil mengarah pada usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial. Kegiatan utama dari lembaga ini adalah menghimpun dana dan mendistribusikan kembali kepada anggota dengan imbalan bagi hasil atau mark-up/margin (sesuai syariah). Prinsip dan mekanismenya hampir sama dengan perbankan syariah hanya skala produk dan jumlah pembiayaannya terbatas. Latar belakang lahirnya BMT karena adanya kemiskinan massif, perbankan belum bisa akses ke masyarakat miskin, mayarakat miskin mendapatkan sumber dana mahal, lembaga/badan usaha yang ada belum sesuai dengan syariah, pemberdayaan masyarakat muslim melalui lembaga masjid, pembinaan pengembangan usaha masyarakat.

3. Asuransi menurut UU RI No. 2 th. 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Sedangkan pengertian asuransi syariah menurut fatwa DSN-MUI, yang lebih dikenal dengan ta’min, takaful, atau tadhamun adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah .

4. Reksadana syariah adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek (saham, obligasi, valuta asing, atau deposito) oleh Manajer Investasi yang pengelolaan dan kebijakan investasinya mengacu pada syariat Islam. Manajer Investasi, dengan aqad Wakala, akan menjadi wakil dari Investor untuk kepentingan dan atas nama Investor. Sedangkan Reksa Dana Syariah akan bertindak dalam aqad Mudharabah sebagai Mudharib yang mengelola dana/harta milik bersama dari para Pemilik Harta. Sebagai bukti penyertaan Pemilik Dana akan mendapat Unit Penyertaan dari Reksa Dana Syariah. Tetapi Reksa Dana Syariah sebenarnya tidak bertindak sebagai Mudharib murni karena Reksa Dana Syariah akan menempatkan kembali dana ke dalam kegiatan Emiten melalui pembelian Efek Syariah. Dalam hal ini Reksa Dana Syariah berperan sebagai Shahibul Mal dan Emiten berperan sebagai Mudharib. Oleh karena itu hubungan ini disebut sebagai ikatan Mudharaba Bertingkat. Dalam kedua situasi tersebut Manajer Investasi akan memberikan jasa secara langsung atau tidak langsung kepada Investor yang ingin melakukan investasi mengikuti prinsip Syariah. Manajer Investasi juga harus mampu melakukan kegiatan pengelolan yang sesuai dengan Syariah. Sehingga diperlukan adanya panduan mengenai norma-norma yang harus dipenuhi oleh Manajer Investasi agar investasi dan hasilnya tidak melanggar ketentuan Syariah, termasuk ketentuan yang berkaitan dengan gharar dan maysir. Produk reksadana meliputi danareksa syariah yang bertujuan untuk memperoleh pertumbuhan investasi melalui investasi saham secara syariah Islam dan danareksa syariah berimbang yang bertujuan untuk memperoleh hasil investasi yang berkelanjutan dengan tingkat diversifikasi yang tinggi secara syariah Islam.

5. Obligasi syariah merupakan suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Tentang obligasi syariah diatur dalam bab XXIV pasal 604 sampai dengan 607 KHES. Di samping itu ada pula obligasi syariah mudharabah yang diatur dalam bab XXI pasal 574 sampai dengan 579 KHES. Sumber hukum obligasi syariah dapat ditilik dalam Firman Allah Swt., dalam :

QS al-Maidah [5]: 1
Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu (QS al-Maidah [5]: 1)

QS al-Israa [17]: 34
… dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Israa [17]: 34).

QS al-Baqarah [2]: 275
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orangyang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 275).

6. Dana pensiun syariah Sunduq mu’asyat taqa’udi atau dana pensiun syariah adalah badan usaha yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun berdasar prinsip syariah (pasal 20 angka 39 KHES). Hal ini diatur dalam bab XXIX Pasal 626 sampai dengan 673 KHES.

6.      Penutup

Hakim pada prinsipnya tidak semata-mata mencari dan menemukan kebenaran. Dalam perkara perdata, hakim harus mampu menggal kebenaran materill. Sehingga keputusan yang dihasilkan mengarah kepada pembaharuan penemuan hokum yang di bentuk berdasarkan metode penafsiaran  dan kontruksi hokum. Sengketa ekonomi syariah adalah yuridikisa baru bagi Peradilan Agama, sehingga hakim perlu menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Keputusan terhadap sengketa ekonomi syariah tidak lepas dari hukum perikatan Islam. Karena berbagai kegiatan usaha di bidang ekonomi syariah di awai dengan perjanjian dengan konsekuensi para pihak mematuhi dan mengikatkan diri terhadap isi perjanjiian tersebut.

Daftar Pustaka
Abdul Kadir Muhammad (1986), Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.
Abdurrahman (2008), Beberapa Catatan Sekitar Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Dalam Buku Kenangan Berjudul Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian). Jakarta: Mahkamah Agung RI.
Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (2001), Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Jakarta.
Muhammad Muslehuddin (1999). Insurance and Islamic Law, Penerj: Burhan
Wirasubrata, Menggugat Asuransi Modern: mengajukan suatu alternatif baru dalam perspektif hukum Islam. Jakarta : Lentera.
Muhamad Nadratuzzaman Hosen dan AM Hasan Ali (2006), dalam makalahnya berjudul Kapita Selekta Asuransi Syariah: Telaah Umum Tentang Asuransi Syariah di Indonesia. Disampaikan dalam acara Seminar dan Lokakarya Mencari Format Ideal Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah diselenggarakan oleh Tim Penyusun Kompilasi Ekonomi Syariah Mahkamah Agung RI pada tanggal 20 November 2006 di Hotel Grand Alia Cikini.
Mustafa Ahmad Zarqa (1968), al-madkhal al-fiqh al-‘am. Beirut: Dar al-Fikr.
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi. www.badilag.net
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. www.badilag.net
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. www.badilag.net
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. www.badilag.net

Nama Kelompok :

Ade Irene Febri              (20210115)
Dimas Agung Prayogi      (22210019)
Levian                             (24210006)
Rezky Izhardhi N            (25210835)
Rina Rismawati                (25210972)

Kelas :

2EB05

Review Jurnal: Penyelesaian Sengketa Ekonomi


TUGAS REVIEW JURNAL


KELAS                                  :    2EB05
NAMA KELOMPOK          :     Ade Irene Febri              (20210115)
                                                  Dimas Agung Prayogi      (22210019)
                                                  Levian                             (24210006)
                                                  Rezky Izhardhi N            (25210835)
                                                  Rina Rismawati                (25210972)



Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan
Baru Peradilan Agama
Oleh: Rifyal Ka’bah

ABSTRAK

               Hukum islam sebagai hukum yang hidup di indonesia telah berkembang dalam era ketergantungan. Pengembangan hukum islam menunjukan misalnya dalam hal yurisdiksi pengadilan islam. Keputusan pengadilan syariah berangkat dari fiqih, dan pelaksanaanya harus didukung oleh pengadilan negara. P3ara hakim dari pengadilan islam membimbing berdasarkan syariah tangan tradisional mereka tidak mendidik berdasarkan hukum  sekuler. selain itu, organisasi pengadilan islam tidak bawah mahkamah agung. Salah satu perubahan dari pengadilan islam baru-baru ini memperbesarnya yurisdiksi menurut UU No. 3 tahun 2006 khususnya mengenai penanganan kasus ekonomi islam di indonesia. Artikel berikut ini mencoba untuk menyelidiki yang merubah dan menantang pengadilan islam sebagai salah satu indonesiamodern masa depan.
               

PENDAHULUAN

                Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup berarti dalam masa kemerdekaan, antara lain dapat dilihat dari kewenangan yang dimiliki oleh Peradilan Agama (PA) sebagai peradilan Islam di Indonesia. Dulunya, putusan PA murni berdasarkan fiqh para fuqaha’, eksekusinya harus dikuatkan oleh Peradilan Umum, para hakimnya hanya berpendidikan
Syari’ah tradisional dan tidak berpendidikan hukum, organisasinya tidak berpuncak ke Mahkamah Agung, dan Iain-lain. Sekarang keadaan sudah berubah, salah satu perubahan mendasar akhir-akhir ini adalah penambahan kewenangan PA dalam UU Peradilan Agama yang baru, antara lain bidang ekonomi Syari’ah. Tulisan ini membicarakan perubahan tersebut dan tantangan yang dihadapi PA di masa depan sebagai sebuah kekuasaan kehakiman yang modern di Indonesia.

Pembahasan

·         Ekonomi Syari’ah

                Perhatian kita sebagai hakim dan lembaga peradilan adalah terhadap ilmu hokum ekonomi dari sudut pandangan Islam atau lembaga keuangan dalam Islam. Yang dimaksud dengan kata syari’ah dalam ekonomi syari’ah sebenarnya adalah fiqh para fuqaha’. Hukum ekonomi atau lembaga keuangan syari’ah di Indonesia tampak sekali berhubungan dengan fiqh para fuqaha”. Di bidang perbankan syari’ah, misalnya, memang telah disinggung dalam beberapa pasal undang-undang seperti UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004. Namun belum ada undang-undanng bahkan hukum yang pasti hingga sekarang untuk ekonomi syari’ah ini .

·         Fatwa Dewan Syari’ah Nasional

                Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah sebuah institusi di bawah Majelis Ulama Indonesia yang dibentuk pada awal tahun 1999. Lembaga ini “memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah.”6 MUI dipilih barangkali karena lembaga inilah pertama kali yang melahirkan bank Syari’ah. Salah satu masalah dalam penerapan fatwa DSN adalah tentang sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh bank Syari’ah, terutama bila bank Syari’ah tertentu tidak berjalan sesuai dengan fatwa DSN dan DPS yang ada di setiap bank Syari’ah.

·         Revisi UU Peradilan Agama

Pasal 49 huruf (i) Revisi UUPA menyatakan bahwa PA bertugas dan berwenang. memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam bidang ekonomi syari’ah.kegiatan usaha menurut prinsip syari’ah meliputi:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan makro syari’ah;
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksadana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.
Pengelompokan ekonomi syari’ah seperti di atas sebenarnya tidak tepat. Huruf (b), (c), (d), (e), (f), (g) dan (h) revisi undang-undang tersebut, yaitu tentang waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq dan shadaqah, adalah juga bagian dari ekonomi syari’ah.
             

·         Pengalaman Badan Atbitrase Syari’ah Nasional

                Pengalaman Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dalam menyelesaikan sengketa antara bank Syari’ah dan nasabahnya dapat dijadikan pelajaran bagi Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi Syari’ah di masa depan.
Sebuah hasil penelitian S3 ilmu hukum di Universitas Sumatera Utara menyimpulkan bahwa sengketa antara bank Syari’ah tidak murni diselesaikan berdasarkan prinsip Syari’ah (fiqh), tetapi juga mengikutsertakan pasal-pasal KUHPerdata. Hal itu terjadi karena tidak tersedianya hukum islam dan tenaga ahli yang menguasai hukum arbitrase islam.
Melihat kasus-kasus arbitrase Syari’ah yang diajukan kepada BASYARNAS, tampak dengan jelas bahwa persoalan inti adalah tentang akad atau kontrak antara penyedia dana sebagai investor, bank sebagai pengelola dana, dan nasabah sebagai pengguna dana, atau antara bank sebagai investor dan sekaligus juga sebagai pengelola dana di satu pihak dan nasabah sebagai pengguna dana di pihak lain. Kontrak yang paling umum dilakukan adalah akad miidhdrabah, akad musyarakah, akad murabohah dan Iain-lain yang selama ini diatur secara luas dalam fiqh berbagai mazhab. Tidak mengherankan bila akad pembiayaan tersebut dibuat berdasarkan dun hukum, yaitu liqh Islam sebagai syari’ah atau hukum Islam dan hokum perjanjian KUHPerdata warisan Belanda. Kemungkinan sengketa tersebut diatur berdarsakan hokum perjanjian dan pasa-pasal tersebut yang menjadi konstitusi bagi pihak yang terlibat dalam perjanjian.
Adanya akad atau kontrak sebagai dasar hukum ekonomi Syari’ah adalah untuk menghindari hal-hal yang dilarang Islam dalam transaksi ekonomi, terutama sekali adalah larangan riba, monopoli, wanprestasi dan Iain-lain.
Sejak zaman jahiliyah telah banyak penantang yang menyamakan antara transaksi jual-beli dan transaksi berdasarkan riba, tetapi Qur’an menyatakannya berbeda. Transaksi pertama dibolehkan, tetapi yang kedua diharamkan. Larangan tersebut antara lain karena sahamnya dalam meningkatkan sifat egoisme dalam diri manusia, memperjarak jurang antara orang kaya dan miskin dan lain-lain.12 Untuk menghindari transaksi-transaksi yang dilarang Islam, maka transaksi keuangan syari’ah berdasarkan kontrak bagi hasil dengan nisbah yang disepakti dan sama-sama menanggung resiko untung atau rugi.



KESIMPULAN

 Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal seperti berikut:
A.      Ekonomi Syari’ah di luar Indonesia terkenal dengan nama ekonomi Islam, yaitu ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip Syari’ah yang berbeda dari ekonomi konvensional yang berkembang di dunia dewasa ini yang hanya berdasarkan nilai-nilai sekular yang terlepas dari agama.
B.      dibahas dalam dua disiplin ilmu, yaitu ilmu ekonomi Islam dan ilmu hukum ekonomi Islam. Ekonomi Syari’ah yang menjadi salah satu kewenangan baru Peradilan Agama berdasarkan revisi UU PA. Kewenangan tersebut menyangkut kewenangan mengadili 11 jenis perkara yang dijelaskan oleh pasal 49 huruf (I).
C.      belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang hukum acara dan hukum materiil bank Syari’ah selain beberapa pasal UU perbankan dan Bank Indonesia serta PB1 dan SEBI. Peraturan yang ada berdasarkan fiqh parafu qaha” dan sebagian kecilnya terutama masalah perbankan yang mengandalkan fatwa terbitan DSN.
D.      Melihat kasus yang diajukan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional  (BASYARNAS) sengketa antara bank syari’ah dan nasabah, semuanya berdasarkan akad atau kontrak antara kedua belah pihak, baik akad mudharabah, musyarakat atau murabahah. Dalam penyelesaiannya menggunakan dua hukum yang berbeda antara DSN dan pasal-pasal KUH perdata. Hal itu dilakukan karena ketiadaan peraturan undang-undang tentang perbankan syari’ah, sebelum adanya undang-undang ekonomi syari’ah secara khusus maka kemungkinan besar para hakim PA akan mengadili perkara ekonomi syari’ah berdasarkan hukum perjanjian, baik berdasarkan fiqh para fuqaha’ maupun KUH Perdata.

REFERENSI
http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/viewFile/203/192