Sabtu, 02 Juni 2012

Jurnal Anti Monopoli


Nama kelompok :
Ø Ade Irene Febri L
Ø Dimas Agung P
Ø Levian
Ø Rezky Izhardi
Ø Rina Rismawati
Kelas : 2 EB 05

JURNAL LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENGECUALIAN TERHADAP BADAN USAHA KOPERASI
Nama pengarang        :  Andjar Pachta Wirana
Penulis adalah             : Staf Pengajar Fakultas Hukum di Universitas Indonesia

ABSTRAK
            Artikel ini dikerjakan dengan 2 peraturan menulis. Mengenai status koperasi dan anti pembatasan monopoli. Dibawah ini pembentukan koperasi Republik Indonesia sebagai satuan usaha orang-orang untuk memudahkan tentang kebijakan ekonomi. Kebijakan itu membidikan dikirim untuk melebarkan bagian melalui sistem ekonomi yang mana tertutup untuk orang. Dia tau sebagai orang ekonomi dengan sistem prinsip melebarkan, menyebarkan, dan nasional demokrasi ekonomi. Pengarang mengakui untuk pemberian satu pengecualian untuk bekerja sama mengabaikan kearah peraturan anti monopoli. Pengecualian itu sendiri adalah dengan sangat jelas, memantulkan satu perlindungan sah dari pemerintah untuk orang ekonomi. Perlindungan tentang perisai dan memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama dan kesatuan pekerjaan untuk mengembangkan dan menjadi kuat dan bisnis mereka seimbang.

PENDAHULUAN
Kedudukan badan usaha koperasi didalam sistim perekonomian Negara Indoneia memiliki dasar hukum yang kuat dan disebut secara eksplisit dalam konstitusi-konstitusi , pemerintahan, sejak dari tahun pertama kemerdekaan Republik Indonesia, dalam politik ekonominya, selalu berusaha memberdayakan badan usaha koperasi dengan membuat kebijakan-kebijakan ekonomi yang memberikan porsi yang “Luas” terhadap pengembangan dan perkembangan usaha koperasi secara nasional dalam rangka mewujudkan perekonomian yang berpihak kepada rakyat-rakyat yang kita kenal sekarang.

KAJIAN PUSTAKA
Peraturan perundang-undangan
Indonesia,        UUD 1945. Naskah Asli berikut Amandemen I, II, III, dan IV.
                        UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
UU No.5 Tahun 1999 tentang Landasan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Keputusan Presiden No.127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha yang Terbuka Untuk Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan.

METODELOGI
                Metode pendekatan secara Yuridis dan Empiris
Dapat kita baca kritikan yang diberikan masyarakat tentang pengembangan koperasi dalam skala nasional yang masih akrab dengan permasalahan dalam mengembangkan lembaganya. Secara empiris,permasalahan itu dapat dikelompokkan dalam :
1.       Iklim usaha yang tidak menunjang lembaga koperasi dalam menjalakan usahanya, meskipun pemerintah telah memberikan berbagai kemudahan-kemudahan.
2.       Pola kerjasama antar lembaga koeprasi dalam menjalankan usahanya secara holistik belum terwujud, sehingga interaksi-usaha baik secara horizontal maupun vertikal masih harus dibenahi agar dapat membuka ruang yang cukup bagi perkembangan usaha dari lembaga-lembaga koperasi  yang ada disekitarnya.
3.       Kesadaran terhadap fungsi koperasi  secara maksimal dapat membawa kemanfaatan bersama masih harus dibenahi secara serius.
4.       Keterbatasan pengalaman dan pengetahuan dibidang menejemen usaha, informasi, dan lain-lain.
PEMBAHASAN

I. Pengertian Badan-Usaha Koperasi
                Dari sudut etimologis, kata “Koperasi” pada mulanya berasal dari dua kata dalam bahasa latin, yaitu : CUM dan APERARI yang berarti “dengan bekerjasama”.
Dalam pengertian bahasa Indonesia, sekarang ini kata Koperasi membawa pengertian kepada sebuah lembaga organisasi ekonomi dengan beranggotakan orang-orang yang mempunyai kepentingan ekonomi yang sama, yang sifatnya “sukarela”. Sehingga dapat kita simpulkan menjadi rangkaian kalimat, “Koperasi adalah suatu perkumpulan atau organisasi ekonomi yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan usaha (koperasi) yang aggotanya bebas untuk keluar masuk sebagai anggota, melakukan kerjasama secara kekeluargaan dalam lingkup ketentuan yang mereka buat sendiri berdasarkan ketentuan yang berlaku, untuk mencapai tujuan yang mereka rumuskan secara bersama-sama pula. Dengan demikian, pengertian Badan usaha koperasi, lebih lanjut dapat diartikan sebagai salah satu dari ‘kendaraan’ usaha yang dibentuk oleh para pendiri dan anggota dari sebuah perkumpulan koperasi untuk melaksanakan kegiatan usahanya.

II. Dasar Hukum, Fungsi dan Tujuan Badan usaha koperasi
A.     Dasar Hukum
Dasar hukum lembaga koperasi di Indonesia adalah Konstitusi negara, UUD 1945. Dengan demikian, di negara kita Indonesia, satu-satunya bangun usaha yang mendapat mandat langsung dari konstitusi negara adalah Koperasi.
Untuk itu, dalam penjelasan Konstitusi tersebut secara gamblang dapat dibaca, bahwa sistim ekonomi Indonesia didasarkan pada “asa” Demokrasi Ekonomi. Tetapi tidak cukup dengan dasar hukum saja, politik negara kita secara implisit maupun eksplisit memberikan perlindungan dan perlakuan khusus kepada bangun usaha koperasi baik dalam bentuk pembinaan yang dilakukan pemerintah secara langsung maupun tidak langsung, maupun memberikan “perlakuan khusus” terhadap setiap lembaga ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk Koperasi.
B.      Fungsi dan Tujuan Koperasi
Fungsi Koperasi, menurut Moh. Hatta dalam pidato-radio yang berjudul Membangun koperasi dan koperasi membangun, antara lain mengatakan bahwa koperasi menurut waktu, tempat, dan keadaan, adalah meliputi 7 hal yaitu :
1.      Memperbanyak produksi
2.      Memperbaiki kwalitas barang
3.      Memperbaiki distribusi
4.      Memperbaiki harga
5.      Menyingkirkan penghisapan dari lintah darat
6.      Memperkuat pemaduan capital
7.      Memelihara lumbung simpanan padi
Dari 7 hal tersebut, dalam kurun waktu abad milinium ini ternyata masih tetap relevan, terutama dari sudut ketahanan ekonomi rakyat dengan menggunakan badan usaha Koperasi sebagai wadah dan kendaraan untuk menjalankan usaha. Sehingga jika ketujuh hal tersebut dijalankan secara konsekwen dalam berkoperasi maka koperasi yang berada diseluruh Indonesia ini dapat berfungsi sebagai ‘kendaraan’ dan ‘wadah’ berkumpulnya anggota dalam meningkatkan taraf kehidupan ekonomi mereka.
III. Kebeadaan badan usaha koperasi dalam perekonomian Indonesia
            Keberadaan badan usaha koperasi di wilayah negara Indonesia tercantum dalam konstitusi negara Republik Indonesia, dengan demikian eksistensinya dijamin oleh Konstitusi. Dalam kesempatan lain Mubyarto ditahun 1989, menyebutkan bahwa di Indonesia dikenal ada 3 kelompok organisasi ekonomi atau badan usaha, yaitu :
1.      Sektor ekonomi negara, yang berorientasi pada pelayanan kepada kepentingan umum dan rakyat banyak
2.      Sektor ekonomi swasta, yang berorientasi pada menjalankan usaha untuk memupuk keuntungan maksimal
3.      Sektor ekonomi koperasi, yang berorientasi pada kerjasama dengan asas kekeluargaan, untuk memperpanjang dan memajukan tingkat perekonomian para anggotanya.
IV. Konsep persaingan usaha yang sehat
            Konsep persaingan usaha yang sehat, berisi 3hal pokok sekaligus dijadikan objek yang ‘dilarang’ yang dijadikan ‘wilayah’ untuk melihat apakah ada persaingan usaha yang tidak sehat.
1.      Lingkup kesepakatan, persekongkolan, atau perjanjian
2.      Lingkup kegiatan
3.      Lingkup dominasi
Konsep persaingan usaha yang sehat yang diatur didalam UU No.5 tahun 1999 adalah menjaga harmonisasi atau keseimbangan antara para produsen (termasuk: distributor dan para pedagangnya) dengan konsumen.


V. Persaingan usaha yang sehat dan badan usaha koperasi
            Manfaat utama dari adanya ketentuan hukum tentang persaingan yang sehat terhadap koperasi secara langsung adalah memberikan “kesempatan” untuk menjalankan usaha seluas mungkin demi meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan para anggotanya. Dalam pengertian hukum dijabarkan sebagai ‘mencegah’ terjadinya perbuatan curang, kalaupun terjadi perbuatan curang maka telah ada ketentuan hukum yang mengatur tentang sanksi-sanksinya.

VI. Pembinaan badan usaha koperasi dan pengaruhnya terhadap persaingan usaha
1.      Hambatan dalam membina badan usaha koperasi
Hambatan yang selama ini dirasakan secara umum dan menjadi penghalang dalam mengembangkan usaha koperasi dapat disebabkan dari faktor internal maupun dari faktor eksternal. Secara internal, umumnya dari sudut ‘kemampuan teknis’ yang dimiliki oleh koperasi itu sendiri, yang dapat meliputi faktor-faktor :
a.      Menejemen
b.      Pengalaman
c.       Jaringan usaha
d.      Modal terbatas
e.      Serta kesadaran dari anggota baik secara individu maupun kolektif.
Hambatan yang berasal dari internal koperasi, memang paling banyak kita ketemukan dimasyarakat.
Sedangkan secara eksternal, umumnya berasal dari kebijakan pemerintah yang sering tidak konsisten bahkan kontradiktif yang berakibat pada iklim yang tidak kondusif bagi perkembangan usaha koperasi.

2.      Peluang terciptanya ekonomi kerakyatan dalam konteks koperasi sebagai sistim perekonomian
Pengecualian terhadap koperasi yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan tentang persaingan usaha yang sehat, harus dijadikan dasar yuridis dalam menciptakan peluang-peluang usaha koperasi secara luas. Koperasi dapat menjadi lembaga usaha dalam sistem perekonomian nasional, karena keberadaan koperasi baik sebagai sistem maupun lembaga ekonomi dapat hadir dimasyarakat kebanyakan dalam arti stara sosial paling bawah hingga di strata sosial tingkat atas dalam ukuran nasional bahkan internasional.



Kesimpulan

            Berdasarkan diskusi diatas, ada 4 kesimpulan yang dapat diberikan oleh penulis dalam diskusi terbatas ini, yaitu sebagai berikut :
1.      Dalam kedudukan koperasi selaku lembaga yang menjalankan usaha, maka bukan tidak mungkin pda suatu periode dan situasi tertentu badan usaha koperasi itu dapat masuk dalam kategori menjalankan praktek monopoli. Dengan demikian, apabila kondisi tersebut dipenuhi, maka ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang larangan praktek melakukan usaha yang tidak sehat dapat berlaku
2.      Beberapa persyaratan yang diberikan kepada lembaga usaha koperasi untuk dapat dikecualikan ari ketentuan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat tersebut antara lain dari segi permodalan dan luas lingkup pelayanan yang diberikan oleh badan usaha koperasi tersebut. Disamping itu, karena ketentuan larangan monopoli itu dibuat untuk menjaga harmonis kehidupan lembaga-lembaga usaha yang ada. Maka kretaria dan ukuran dari lembaga usaha kecil (UKM) dan koperasi memang harus diperjelas dan dievaluasi dari waktu ke waktu
3.      Mengingat bahwa lembaga usaha koperasi merupakan usaha yang dibangun oleh kumpulan orang-orang (rakyat kecil) yang mempunyai modal terbatas dalam rangka meningkatkan kemampuan ekonomi anggotanya, maka pengecualian yang diberikan kepada badan usaha koperasi itu diawali dengan niat pemerintah dalam hal memberikan dasar yuridis kepada lembaga-lembaga koperasi untuk mendapat kesempatan luar dalam memulai, menjalankan, dan mengembangkan usahanya secara luas, terutama untuk mengingkatkan kesejahteraan ekonomi para anggotanya.
4.      Hal-hal yang sering menjadi penghambat dilapangan dalam menjaga eksistensi usaha koperasi dan pengembangan usahanya adalah sikap pemerintah yang sering mendua dalam mengeluarkan kebijakan dengan memberikan porsi-porsi usaha yang sudah ditekuni dan dijalankan dengan baik oleh koperasi kepada pendatang baru dari kalangan lembaga usaha yang non-koperasi.






Refrensi
Assiddiqie, Jimly. Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan Ke-empat. Pusat Study Hukum Tata Negara, FHUI Jakarta, 2002.
Hadikusuma, R.T. Sutantya Rahardja. Hukum koperasi Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Hendrajogi. Koperasi: Azas-azas, Teori dan Praktek. Jakarta: Rajawali Press, 1997.
Kwik, Kian Gie. “MPR dan Ekonomi Kerakyatan”. Kompas, 16 November 1996.
Mubyarto. Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta: LP3ES, 1987
Mutis, Thoby. Pengembangan koperasi: Kumpulan karangan. Jakarta: Grasindo. 1992
Ragam koperasi di Manca Negara. Jakarta: Media Ekonomi Publishing, 1999.
Rachbini, Didik.J., Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi. Jakarta: Grasindo, 2001.
Rahardjo, Dawam. Apa kabar koperasi Indonesia. Jakarta: Kompas Cyber Media, 2002.
Swasono, Sri Edi (Ed.). Mencari Bentuk, Posisi, dan Realitas Koperasi di dalam Orde Ekonomi Indonesia. Cet. Ke-2, Jakarta: UI Press, 1985.
Lapenkop Bukopin. Lebih mengenal koperasi, Anggaran dasar koperasi, Rapat Anggota, SHU Anggota Koperasi. Cet. Ke-3, Bandung: Lapenkop Bukopin, 1999.
Widiyanti, Ninik dan Sunindhia. Koperasi dan Perekonomian Indonesia. Cet. Ke-3, Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Wiradiputra, Ditha. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia: Perjanjian yang dilarang. Lembaga Kajian Persaingan Usaha dan kebijakan Usaha. FHUI Jakarta, 2003.

Review Jurnal Hukum Perikatan

Urgensi Hukum Perikatan Islam dalam
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Oleh: Achmad Fauzi1
Abstract

Artikel ini ditujukan untuk mengawasi gugatan hukum syariah ekonomi melalui litigasi di pengadilan dengan menganalisis kemampuan hakim dalam gugatan ini. Masalah ini penting karena setiap kegiatan ekonomi syariah didasarkan pada apa isi kontrak (akad). Artikel analisis hukum keterlibatan berdasarkan hukum atau sipil Indonesia Borgelijk Wetboek (BW), hukum konvensi berdasarkan kompilasi hukum ekonomi syariah, pengadilan syariah otoritas, dan langkah-langkah solusi ekonomi syariah gugatan melalui litigasi. Ini menyimpulkan bahwa seorang hakim harus mampu menggali keadilan material, termasuk dalam hukum perdata sehingga keputusannya bertujuan untuk reformasi dan penemuan hukum (rechtsvinding). Sebagai yurisdiksi baru untuk pengadilan syariah, gugatan ekonomi syariah memiliki instrumen hukum masih beberapa yang menyiratkan perlunya seorang hakim untuk mengawasi nilai-nilai keadilan yang hidup pada manusia. Perumusan keputusan hukum syariah ekonomi tidak harus dipisahkan dari hukum syariah keterlibatan.

1.      Pendahuluan

Ada dua opsi yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, yakni melalui proses litigasi di pengadilan atau non litigasi. Pengadilan Agama adalah lembaga kekuasaan kehakiman yang memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi syariah. Hal ini sesuai dengan asas personalitas keislaman dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 49 huruf i Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Pasal 55 angka 1 Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah). Sedangkan jalur non litigasi meliputi bentuk alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution) dan arbitrase. Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10 UU No.30 Tahun 1999).

2.      Hukum Perikatan dalam Borgelijk Wetboek (BW)

Secara etimologi Undang-Undang tidak menjelaskan apa yang dimaksud daripada perikatan. Begitu pula Code Civil Perancis maupun Borgelijk Wetboek (BW) Belanda yang merupakan concodantie BW kita. Secara etimologi perikatan (Verbintenis) berasal dari kata kerja “verbinden” yang artinya mengikat (ikatan atau hubungan). Verbintenis bisa disebut dengan istilah perikatan, perutangan, atau perjanjian. Perikatan bisa diartikan juga setuju atau sepakat, dari arti kata overeenkomen.
Menurut terminologi, perikatan merupakan suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara sejumlah terbatas subyek hukum. Sehubungan dengan itu, seseorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu atas sesuatu prestasi terhadap pihak yang lain (kreditur atau para kreditur). Jadi unsur-unsur perikatan meliputi hubungan hukum, kekayaan, pihak-pihak dan prestasi.
Apabila debitur tidak melakukan apa yang telah diperjanjikan, maka ia dikatakan melakukan wanprestasi. Kreditur dapat menuntut pemenuhan parikatan, pemenuhan perikatan dengan ganti rugi, ganti rugi, pembatalan persetujuan timbale balik, pembatalan dengan ganti rugi, dan pembatalan debitur yang dituduh lalai.
Seorang debitur yang lalai dapat mengajukan pembelaan diri dengan mengajukan beberapa alasan yang membebaskan hukum, yaitu keadaan memaksa (overmacht/force majure), kreditur juga melakukan kelalaian (exception nonadimpleti contractus), kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtsverweking).
Jika hukum benda memiliki suatu sistem tertutup, maka hukum perikatan menganut sistem terbuka (Aanvullenrecht). Artinya, para pihak boleh membuat aturan-aturan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal perjanjian. Akan tetapi jika mereka tidak mengatur sendiri, berarti mengenai perkara tersebut, mereka akan tunduk kepada undang-undang. Sistem terbuka yang mengandung asas kebebasan berkontrak disimpulkan dari pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” (pacta sunt servanda).
Sistem terbuka juga mengandung pengertian bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu KUHP dibentuk. Dalam hukum perjanjian juga berlaku asas konsensualisme, yakni pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah dan mengikat apabila telah tercapai kesepakatan mengenai hal yang pokok dari perjanjian itu. Misalnya, mengenai barang dan harga dalam jual beli.
Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari ketentuan pasal 1320 KUHPer yang berbunyi “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat; kesepakatan mereka yang mengikat dirinya (the consent of those who bind themselves), kecakapan untuk membentuk suatu perikatan (the capability to make an agreement), suatu hal tertentu (a particular object), suatu sebab yang halal (a lawful cause/oorzaak)”. Syarat “kata sepakat dan cakap” disebut sebagai syarat subjektif yang apabila tidak dipenuhi mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar). Sedangkan syarat “suatu hal tertentu dan sebab yang halal” disebut sebagai syarat objektif yang apabila tidak dipenuhi menimbulkan perjanjian batal demi hukum (nietig).

3.      Hukum Perjanjian dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)

Perjanjian dalam bahasa Arab lazim disebut dengan akad. Dalam pasal 20 angka 1 KHES dirumuskan bahwa akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Pada pasal 22 disebutkan rukun akad terdiri atas; pihak yang melakukan akad, objek akad, tujuan pokok akad, dan kesepakatan.
Pihak yang berakad disebut juga subjek hukum. Dalam pasal 1 angka 2 subjek hukum adalah orang perorangan, persekutuan atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum yang memiliki kecakapan hokum untuk mendukung hak dan kewajiban. Kategorinya dalam pasal 2 ayat 1 adalah minimal sekurang-kurangnya berumur 18 tahun atau pernah menikah. Jika terbukti dalam persidangan pemohon tidak memenuhi criteria, maka menurut pasal 4 harus mendapat perwalian. Selain mereka yang dibawah umur, pasal dalam KHES juga menentukan perwalian kepada orang dewasa yang tidak cakap hukum.
Pasal 6 KHES menentukan kewenangan pengadilan dalam kaitan dengan perwalian. Ayat 1, pengadilan berwenang menetapkan perwalian bagi orang yang dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Ayat 2, pengadilan berwenang menetapkan orang untuk bertindak sebagai wali sebagaimana dimaksud pada ayat 1. kemudian pada pasal 7 disebutkan bahwa pengadilan dapat menetapkan orang yang berutang berada dalam perwalian berdasarkan permohonan orang yang berpiutang. Kata-kata pengadilan dalam ketentuan di atas harus dibaca Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.
KHES menggunakan istilah Muwalla untuk menyebut orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum dan ditetapkan dalam perwalian. Lebih lanjut pasal 9 menjelaskan bahwa muwalla dapat melakukan perbuatan hukum yang menguntungkan dirinya, meskipun tidak mendapatkan izin wali; tidak dapat melakukan suatu perbuatan hukum yang merugikan dirinya, meskipun atas izin wali; keabsahan perbuatan hukum muwalla atas hak kebendaannya yang belum jelas akan menguntungkan atau merugikan dirinya bergantung pada izin wali; apabila terjadi perselisihan antara muwalla dengan wali, muwalla dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk ditetapkan bahwa yang bersangkutan memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum.
Rukun kedua dari akad adalah objek akad. Pasal 24 KHES menyebut bahwa objek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan dan dibutuhkan oleh masingmasing pihak. Pengertian amwal pada pasal 1 angka 9 adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan dan dialihkan, baik benda berwujud maupun abstrak, baik benda terdaftar maupun tidak terdaftar, benda bergerak atau tidak bergerak, dan hak yang mempunyai nilai ekonomis. Dalam pengertian tersebut dapat dikemukakan macam perbedaan pengertian benda antara lain;
1. Benda berwujud dan tidak berwujud
a. Benda berwujud adalah benda yang dapat diindera (pasal 1 angka 10).
b. Benda tidak berwujud adalah segala sesuatu yang tidak adapat diindera (pasal 1 angka 11).
2. Benda bergerak dan tidak bergerak
a. Benda bergerak adalah segala sesuatu yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain (pasal 1 angka 12).
b. Benda tidak bergerak adalah segala sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain yang menurut sifatnya dietntukan oleh Undang-Undang (pasal 1 angka 13).
3. Benda terdaftar dan tidak terdaftar
a. Benda terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan warkat yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang (pasal 1 angka 14) .
b. Benda tidak terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan alat bukti pertukaran atau pengalihan di antara pihak-pihak (pasal 1 angka 15).

Selain itu dalam pasal 1 angka 9 disebutkan juga bahwa amwal adalah hak yang memiliki nilai ekonomis. Uang dan surat berharga masuk dalam ketegori ini. Hanya saja uang bukanlah sebagai komoditas, melainkan sebagai alat pembayaran yang sah. Rukun ketiga dari akad adalah tujuan pokok akad. Ketentuan khusus tentang hal ini disebutkan pada pasal 25 KHES yang menyatakan bahwa akad bertujuan memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang melakukan akad. Namun tidak semua tujuan dibenarkan karena tujuan yang dibenarkan hanyalah untuk akad yang sah. Pasal 28 ayat (1) menyatakan akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya. Akad tidak sah apabila bertentangan dengan syariat Islam, peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, kesusilaan (pasal 26 KHES).
Pasal 27 dan 28 disebutkan bahwa hukum akad terbagi dalam 3 kategori;
1. Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya;
2. Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya namun terdapat hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat;
3. Akad yang batal adalah akad yang kurang syarat dan rukunnya.

Rukun akad yang keempat adalah kesepakatan. Dalam KHES tidak ditemukan aturan tentang kesepakatannya sendiri, hanya diatur cacatnya sebuah kesepakatan, yakni apabila dalam akad tersebut mengandung unsur ghalat (khilaf), ikrah (paksaan), taghrir (tipuan), dan gubhn (penyamaran). Berdasarkan hal ini ada 4 hal yang menyebabkan cacatnya sebuah kesepakatan;
1. Ghalath atau khilaf
Pasal 30 menyatakan kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu akad kecuali khilaf itu terjadi mengenai hakikat yang menjadi pokok perjanjian;

2. Ikrah atau paksaan
Pasal 31 menyatakan paksaan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu bukan berdasar pilihan bebasnya dan pasal 32 menyebutkan bahwa paksaan dapat menyebabkan batalnya akad apabila pemaksa mampu untuk melaksanakannya, pihak yang dipaksa memiliki persangkaan yang kuat bahwa pemaksa akan segera melaksanakan apa yang diancamkannya apabila tidak patuh pada perintah pemaksa, yang diancamkan benar-benar menekan kondisi jiwa orang yang diancam, ancaman akan dilaksanakan secara serta merta, paksaan bersifat melawan hukum.

3. Taghrirat atau tipuan
Dalam pasal 33 KHES disebutkan bahwa penipuan adalah pembentukan akad melalui tipu daya. Dengan dalih untuk kemaslahatan, tetapi kenyataannya untuk memenuhi kepentingannya sendiri. Pasal 34 menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan suatu akad.

4. Gubhn atau penyamaran
Pasal 35 KHES menegaskan penyamaran sebagai keadaan yang tidak imbang antara prestasi dengan imbalan prestasi dalam suatu akad.

Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi berlakunya perjanjian adalah karena kekeliruan, perbuatan curang, pengaruh tidak pantas, dan ketidakcakapan dalam membuat perjanjian. Hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah berkenaan dengan asas akad.
Pasal 21 menyatakan bahwa akad dilakukan berdasar 11 asas:
a. Sukarela/ikhtiyari (setiap akad dilakukan berdasarkan kehendak para pihak dan bukan karena keterpaksan);
b. Menepati janji/amanah (setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak);
c. Kehati-hatian/ikhtiyati (setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang);
d. Tidak berubah (setiap akad memiliki tujuan yang jelas dan terhindar dari spekulasi);
e. Saling menguntungkan (setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga terhindar dari manipulasi);
f. Kesetaraan/taswiyah (para pihak yang melaksanakan akad memiliki kedudukan yang setara, memiliki hak dan kewajiban yang simbang);
g. Transparansi (akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara\ terbuka);
h. Kemampuan (akad dilakukan sesuai kemampuan para pihak);
i. Kemudahan/taisir (akad memberi kemudahan bagi masing-masing pihak untuk melaksanakannya);
j. Itikad baik (akad dilaksanakan dalam rangka menegakkan kemaslahatan);
k. Sebab yang halal (akad tidak bertentangan dengan hukum).

Perjanjian yang tidak dilaksanakan dengan itikad baik sering disebut dengan wanprestasi atau ingkar janji. Dalam pasal 36 KHES dikatakan bahwa pihak dikategorikan melakukan ingkar janji apabila tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikan namun tidak sebagaimana yang dijanjikan, melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak dibolehkan. Pihak yang ingkar janji menurut pasal 38 KHES dapat dijatuhi sanksi berupa pembayaran ganti rugi, pembatalan akad, peralihan resiko, denda dan pembayaran biaya perkara. Khusus mengenai pembayaran ganti rugi, pasal 39 KHES menyatakan bahwa pembayaran ganti rugi dapat dijatuhkan apabila pihak yang melakukan wanprestasi setelah dinyatakan ingkar janji tetap melakukan ingkar janji, sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya, pihak yang melakukan ingkar janji tidak dapat membuktikan bahwa perbuatan ingkar janjinya tidak dibawah paksaan.

4.      Kewenangan Absolut Pengadilan Agama terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

Pengadilan Agama memiliki kewenangan mutlak untuk menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah. Hal ini didasarkan atas ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.”. Sebelum diundangkannya UU No.3 Tahun 2006 tersebut memang belum pernah ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus melimpahkan kewenangan kepada pengadilan tertentu untuk memeriksa dan mengadili perkara ekonomi syari’ah.
Meskipun Pengadilan Agama telah diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, perangkat hukum materiil maupun perangkat hukum formil perlu terus dibenahi. Lahirnya UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan PERMA No. 02 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) tidak serta merta mencukupi kebutuhan hakim dalam melakukan tugas-tugas barunya, sehingga perlu dilakukan terobosan hukum guna memenuhi perkembangan kebutuhan hokum masyarakat.
Terobosan tersebut adalah pertama: dengan melakukan penafsiran argumentum per analogian (analogi), yakni dengan memperluas berlakunya peraturan perundangundangan yang mengatur tentang kegiatan ekonomi pada umumnya terhadap kegiatan ekonomi syari’ah karena adanya persamaan-persamaan antara keduanya; kedua: dengan menerapkan asas lex posterior derogat legi apriori, yakni bahwa hokum yang baru mengalahkan hukum yang lama. Dengan demikian, maka ketentuanketentuan hukum lama yang dahulu tidak berlaku pada Pengadilan Agama menjadi berlaku karena adanya kesamaan-kesamaan antara keduanya dan aturan-aturan yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah yang dahulu bukan menjadi kewenangan Pengadilan Agama maka sekarang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dengan adanya UU No.3 Tahun 2006, sepanjang berkenaan dengan ekonomi syari’ah.
Diantara peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan ekonomi adalah UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) dan UU No.4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan. Melalui penafsiran argumentum per analogian (analogi), maka ketentuan UU No.30 Tahun 1999 dan UU No.4 Tahun 1998 tersebut diberlakukan pada Pengadilan Agama. Kata-kata ‘Pengadilan Negeri’ atau ‘peradilan umum’ dalam Undang-Undang tersebut dapat diberlakukan pada ‘Pengadilan Agama’ atau ‘peradilan agama’ sepanjang menyangkut ekonomi syari’ah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 jis UU No.30 Tahun 1999 dan UU No.4 Tahun 1998, maka kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani perkara ekonomi syari’ah ini meliputi:
1. Menunjuk arbiter dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter (Pasal 13-15 UU No.30 Tahun 1999);
2. Memutus hak ingkar yang diajukan oleh para pihak atau salah satu dari mereka terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Agama (Pasal 22-25 UU No.30 Tahun 1999);
3. Mendaftar keputusan Basyarnas yang harus didaftarakan dalam tempo 30 hari sejak putusan diucapkan (Pasal 59 UU No.30 Tahun 1999);
4. Melaksanakan keputusan badan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) dan keputusan Basyarnas melalui eksekusi paksa manakala diperlukan (Pasal 59-63 UU No.30 Tahun 1999). Keputusan tersebut dapat dieksekusi oleh Pengadilan Agama manakala telah terdaftar sebelumnya di Kepaniteraan Pengadilan Agama selambat-lambatnya 30 hari setelah penandatanganan keputusan tersebut (Pasal 6 ayat (7) UU No.30 Tahun 1999). Apabila ketentuan ini tidak diindahkan maka keputusan tersebut tidak dapat dieksekusi (Pasal 59 ayat (4) UU No.30 Tahun 1999);
5. Menyatakan pailit debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membeyar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (Pasal 1 ayat (1) UU No.4 Tahun 1998);
6. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah (Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006).

5.      Langkah Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Litigasi

Proses penyelesaian perkara ekonomi syari’ah melalui jalur litigasi dilakukan dengan terlebih dahulu memeriksa apakah syarat administrasi perkara telah tercukupi atau belum. Administrasi perkara ini meliputi berkas perkara yang di dalamnya telah ada panjar biaya perkara, nomor perkara, penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera sidang. Apabila syarat tersebut belum lengkap maka berkas dikembalikan ke kepaniteraan untuk dilengkapi, apabila sudah lengkap maka hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada juru sita agar para pihak dipanggil untuk hadir dalam sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim dalam surat Penetapan Hari Sidang (PHS). Hakim memeriksa syarat formil perkara yang meliputi kompetensi dan kecakapan penggugat, kompetensi (kewenangan) Pengadilan Agama baik secara absolut maupun relatif, ketepatan penggugat menentukan tergugat (tidak salah menentukan tergugat), surat gugatan tidak obscuur, perkara yang akan diperiksa belum pernah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (tidak ne bis in idem), tidak terlalu dini, tidak terlambat, dan tidak dilarang oleh undang-undang untuk diperiksa dan diadili oleh Pengadilan. Apabila ternyata para pihak telah terikat dengan perjanjian arbitrase, maka Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya (Pasal 3 UU No.30 Tahun 1999). Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat melanjutkan untuk memeriksa pokok perkara. Dalam persidangan ini, tugas pertama dan utama hakim adalah berusaha mendamaikan kedua belah pihak sesuai dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang mediasi. Apabila tercapai perdamaian, maka hakim membuat akta perdamaian. Apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan ke tahap berikutnya. Hakim melakukan konstatiring terhadap dalil-dalil gugat dan bantahannya melalui tahap-tahap pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, dan pembuktian. Hakim melakukan kualifisiring melalui kesimpulan para pihak dan musyawarah hakim. Hakim melakukan konstituiring yang dituangkan dalam surat putusan.
Dalam memeriksa dan mengadili tingkat pertama sengketa ekonomi syariah, hukum perikatan Islam memang memiliki kedudukan penting. Sebab, segala bentuk peristiwa hukum mengenai kegiatan ekonomi syariah diawali dengan akad yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Tanpa menguasai hukum perikatan Islam, mustahil hakim dapat memutus dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dengan benar dan adil.
Ekonomi syariah merupakan yurisdiksi baru Pengadilan Agama. Istilah ekonomi syariah merupakan hal spesifik di Indonesia karena istilah tersebut hamper tidak dikenal di negara-negara Islam lainnya. Di banyak negara dan di lingkungan akademik dikenal dengan istilah “Ekonomi Islam” atau “Islamic Economic” sebagai padanan dari istilah Arab “al-Iqtishadi al-Islami”.
Ekonomi syariah dapat didefinisikan perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun syariah, bisnis syariah dan lain-lain.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah “suatu perjanjian (timbal balik), dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu (onzeker vooral).”

1. Bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menerangkan bahwa Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.

2. BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan syariah terdiri dari 2 istilah yakni baitul maal dan baitut tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha pengumpulan dan penyaluran dana nonprofit (ZIS). Baitut tamwil mengarah pada usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial. Kegiatan utama dari lembaga ini adalah menghimpun dana dan mendistribusikan kembali kepada anggota dengan imbalan bagi hasil atau mark-up/margin (sesuai syariah). Prinsip dan mekanismenya hampir sama dengan perbankan syariah hanya skala produk dan jumlah pembiayaannya terbatas. Latar belakang lahirnya BMT karena adanya kemiskinan massif, perbankan belum bisa akses ke masyarakat miskin, mayarakat miskin mendapatkan sumber dana mahal, lembaga/badan usaha yang ada belum sesuai dengan syariah, pemberdayaan masyarakat muslim melalui lembaga masjid, pembinaan pengembangan usaha masyarakat.

3. Asuransi menurut UU RI No. 2 th. 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Sedangkan pengertian asuransi syariah menurut fatwa DSN-MUI, yang lebih dikenal dengan ta’min, takaful, atau tadhamun adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah .

4. Reksadana syariah adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek (saham, obligasi, valuta asing, atau deposito) oleh Manajer Investasi yang pengelolaan dan kebijakan investasinya mengacu pada syariat Islam. Manajer Investasi, dengan aqad Wakala, akan menjadi wakil dari Investor untuk kepentingan dan atas nama Investor. Sedangkan Reksa Dana Syariah akan bertindak dalam aqad Mudharabah sebagai Mudharib yang mengelola dana/harta milik bersama dari para Pemilik Harta. Sebagai bukti penyertaan Pemilik Dana akan mendapat Unit Penyertaan dari Reksa Dana Syariah. Tetapi Reksa Dana Syariah sebenarnya tidak bertindak sebagai Mudharib murni karena Reksa Dana Syariah akan menempatkan kembali dana ke dalam kegiatan Emiten melalui pembelian Efek Syariah. Dalam hal ini Reksa Dana Syariah berperan sebagai Shahibul Mal dan Emiten berperan sebagai Mudharib. Oleh karena itu hubungan ini disebut sebagai ikatan Mudharaba Bertingkat. Dalam kedua situasi tersebut Manajer Investasi akan memberikan jasa secara langsung atau tidak langsung kepada Investor yang ingin melakukan investasi mengikuti prinsip Syariah. Manajer Investasi juga harus mampu melakukan kegiatan pengelolan yang sesuai dengan Syariah. Sehingga diperlukan adanya panduan mengenai norma-norma yang harus dipenuhi oleh Manajer Investasi agar investasi dan hasilnya tidak melanggar ketentuan Syariah, termasuk ketentuan yang berkaitan dengan gharar dan maysir. Produk reksadana meliputi danareksa syariah yang bertujuan untuk memperoleh pertumbuhan investasi melalui investasi saham secara syariah Islam dan danareksa syariah berimbang yang bertujuan untuk memperoleh hasil investasi yang berkelanjutan dengan tingkat diversifikasi yang tinggi secara syariah Islam.

5. Obligasi syariah merupakan suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Tentang obligasi syariah diatur dalam bab XXIV pasal 604 sampai dengan 607 KHES. Di samping itu ada pula obligasi syariah mudharabah yang diatur dalam bab XXI pasal 574 sampai dengan 579 KHES. Sumber hukum obligasi syariah dapat ditilik dalam Firman Allah Swt., dalam :

QS al-Maidah [5]: 1
Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu (QS al-Maidah [5]: 1)

QS al-Israa [17]: 34
… dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Israa [17]: 34).

QS al-Baqarah [2]: 275
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orangyang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 275).

6. Dana pensiun syariah Sunduq mu’asyat taqa’udi atau dana pensiun syariah adalah badan usaha yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun berdasar prinsip syariah (pasal 20 angka 39 KHES). Hal ini diatur dalam bab XXIX Pasal 626 sampai dengan 673 KHES.

6.      Penutup

Hakim pada prinsipnya tidak semata-mata mencari dan menemukan kebenaran. Dalam perkara perdata, hakim harus mampu menggal kebenaran materill. Sehingga keputusan yang dihasilkan mengarah kepada pembaharuan penemuan hokum yang di bentuk berdasarkan metode penafsiaran  dan kontruksi hokum. Sengketa ekonomi syariah adalah yuridikisa baru bagi Peradilan Agama, sehingga hakim perlu menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Keputusan terhadap sengketa ekonomi syariah tidak lepas dari hukum perikatan Islam. Karena berbagai kegiatan usaha di bidang ekonomi syariah di awai dengan perjanjian dengan konsekuensi para pihak mematuhi dan mengikatkan diri terhadap isi perjanjiian tersebut.

Daftar Pustaka
Abdul Kadir Muhammad (1986), Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.
Abdurrahman (2008), Beberapa Catatan Sekitar Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Dalam Buku Kenangan Berjudul Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian). Jakarta: Mahkamah Agung RI.
Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (2001), Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Jakarta.
Muhammad Muslehuddin (1999). Insurance and Islamic Law, Penerj: Burhan
Wirasubrata, Menggugat Asuransi Modern: mengajukan suatu alternatif baru dalam perspektif hukum Islam. Jakarta : Lentera.
Muhamad Nadratuzzaman Hosen dan AM Hasan Ali (2006), dalam makalahnya berjudul Kapita Selekta Asuransi Syariah: Telaah Umum Tentang Asuransi Syariah di Indonesia. Disampaikan dalam acara Seminar dan Lokakarya Mencari Format Ideal Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah diselenggarakan oleh Tim Penyusun Kompilasi Ekonomi Syariah Mahkamah Agung RI pada tanggal 20 November 2006 di Hotel Grand Alia Cikini.
Mustafa Ahmad Zarqa (1968), al-madkhal al-fiqh al-‘am. Beirut: Dar al-Fikr.
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi. www.badilag.net
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. www.badilag.net
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. www.badilag.net
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. www.badilag.net

Nama Kelompok :

Ade Irene Febri              (20210115)
Dimas Agung Prayogi      (22210019)
Levian                             (24210006)
Rezky Izhardhi N            (25210835)
Rina Rismawati                (25210972)

Kelas :

2EB05

Review Jurnal: Penyelesaian Sengketa Ekonomi


TUGAS REVIEW JURNAL


KELAS                                  :    2EB05
NAMA KELOMPOK          :     Ade Irene Febri              (20210115)
                                                  Dimas Agung Prayogi      (22210019)
                                                  Levian                             (24210006)
                                                  Rezky Izhardhi N            (25210835)
                                                  Rina Rismawati                (25210972)



Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan
Baru Peradilan Agama
Oleh: Rifyal Ka’bah

ABSTRAK

               Hukum islam sebagai hukum yang hidup di indonesia telah berkembang dalam era ketergantungan. Pengembangan hukum islam menunjukan misalnya dalam hal yurisdiksi pengadilan islam. Keputusan pengadilan syariah berangkat dari fiqih, dan pelaksanaanya harus didukung oleh pengadilan negara. P3ara hakim dari pengadilan islam membimbing berdasarkan syariah tangan tradisional mereka tidak mendidik berdasarkan hukum  sekuler. selain itu, organisasi pengadilan islam tidak bawah mahkamah agung. Salah satu perubahan dari pengadilan islam baru-baru ini memperbesarnya yurisdiksi menurut UU No. 3 tahun 2006 khususnya mengenai penanganan kasus ekonomi islam di indonesia. Artikel berikut ini mencoba untuk menyelidiki yang merubah dan menantang pengadilan islam sebagai salah satu indonesiamodern masa depan.
               

PENDAHULUAN

                Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup berarti dalam masa kemerdekaan, antara lain dapat dilihat dari kewenangan yang dimiliki oleh Peradilan Agama (PA) sebagai peradilan Islam di Indonesia. Dulunya, putusan PA murni berdasarkan fiqh para fuqaha’, eksekusinya harus dikuatkan oleh Peradilan Umum, para hakimnya hanya berpendidikan
Syari’ah tradisional dan tidak berpendidikan hukum, organisasinya tidak berpuncak ke Mahkamah Agung, dan Iain-lain. Sekarang keadaan sudah berubah, salah satu perubahan mendasar akhir-akhir ini adalah penambahan kewenangan PA dalam UU Peradilan Agama yang baru, antara lain bidang ekonomi Syari’ah. Tulisan ini membicarakan perubahan tersebut dan tantangan yang dihadapi PA di masa depan sebagai sebuah kekuasaan kehakiman yang modern di Indonesia.

Pembahasan

·         Ekonomi Syari’ah

                Perhatian kita sebagai hakim dan lembaga peradilan adalah terhadap ilmu hokum ekonomi dari sudut pandangan Islam atau lembaga keuangan dalam Islam. Yang dimaksud dengan kata syari’ah dalam ekonomi syari’ah sebenarnya adalah fiqh para fuqaha’. Hukum ekonomi atau lembaga keuangan syari’ah di Indonesia tampak sekali berhubungan dengan fiqh para fuqaha”. Di bidang perbankan syari’ah, misalnya, memang telah disinggung dalam beberapa pasal undang-undang seperti UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004. Namun belum ada undang-undanng bahkan hukum yang pasti hingga sekarang untuk ekonomi syari’ah ini .

·         Fatwa Dewan Syari’ah Nasional

                Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah sebuah institusi di bawah Majelis Ulama Indonesia yang dibentuk pada awal tahun 1999. Lembaga ini “memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah.”6 MUI dipilih barangkali karena lembaga inilah pertama kali yang melahirkan bank Syari’ah. Salah satu masalah dalam penerapan fatwa DSN adalah tentang sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh bank Syari’ah, terutama bila bank Syari’ah tertentu tidak berjalan sesuai dengan fatwa DSN dan DPS yang ada di setiap bank Syari’ah.

·         Revisi UU Peradilan Agama

Pasal 49 huruf (i) Revisi UUPA menyatakan bahwa PA bertugas dan berwenang. memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam bidang ekonomi syari’ah.kegiatan usaha menurut prinsip syari’ah meliputi:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan makro syari’ah;
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksadana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.
Pengelompokan ekonomi syari’ah seperti di atas sebenarnya tidak tepat. Huruf (b), (c), (d), (e), (f), (g) dan (h) revisi undang-undang tersebut, yaitu tentang waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq dan shadaqah, adalah juga bagian dari ekonomi syari’ah.
             

·         Pengalaman Badan Atbitrase Syari’ah Nasional

                Pengalaman Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dalam menyelesaikan sengketa antara bank Syari’ah dan nasabahnya dapat dijadikan pelajaran bagi Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi Syari’ah di masa depan.
Sebuah hasil penelitian S3 ilmu hukum di Universitas Sumatera Utara menyimpulkan bahwa sengketa antara bank Syari’ah tidak murni diselesaikan berdasarkan prinsip Syari’ah (fiqh), tetapi juga mengikutsertakan pasal-pasal KUHPerdata. Hal itu terjadi karena tidak tersedianya hukum islam dan tenaga ahli yang menguasai hukum arbitrase islam.
Melihat kasus-kasus arbitrase Syari’ah yang diajukan kepada BASYARNAS, tampak dengan jelas bahwa persoalan inti adalah tentang akad atau kontrak antara penyedia dana sebagai investor, bank sebagai pengelola dana, dan nasabah sebagai pengguna dana, atau antara bank sebagai investor dan sekaligus juga sebagai pengelola dana di satu pihak dan nasabah sebagai pengguna dana di pihak lain. Kontrak yang paling umum dilakukan adalah akad miidhdrabah, akad musyarakah, akad murabohah dan Iain-lain yang selama ini diatur secara luas dalam fiqh berbagai mazhab. Tidak mengherankan bila akad pembiayaan tersebut dibuat berdasarkan dun hukum, yaitu liqh Islam sebagai syari’ah atau hukum Islam dan hokum perjanjian KUHPerdata warisan Belanda. Kemungkinan sengketa tersebut diatur berdarsakan hokum perjanjian dan pasa-pasal tersebut yang menjadi konstitusi bagi pihak yang terlibat dalam perjanjian.
Adanya akad atau kontrak sebagai dasar hukum ekonomi Syari’ah adalah untuk menghindari hal-hal yang dilarang Islam dalam transaksi ekonomi, terutama sekali adalah larangan riba, monopoli, wanprestasi dan Iain-lain.
Sejak zaman jahiliyah telah banyak penantang yang menyamakan antara transaksi jual-beli dan transaksi berdasarkan riba, tetapi Qur’an menyatakannya berbeda. Transaksi pertama dibolehkan, tetapi yang kedua diharamkan. Larangan tersebut antara lain karena sahamnya dalam meningkatkan sifat egoisme dalam diri manusia, memperjarak jurang antara orang kaya dan miskin dan lain-lain.12 Untuk menghindari transaksi-transaksi yang dilarang Islam, maka transaksi keuangan syari’ah berdasarkan kontrak bagi hasil dengan nisbah yang disepakti dan sama-sama menanggung resiko untung atau rugi.



KESIMPULAN

 Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal seperti berikut:
A.      Ekonomi Syari’ah di luar Indonesia terkenal dengan nama ekonomi Islam, yaitu ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip Syari’ah yang berbeda dari ekonomi konvensional yang berkembang di dunia dewasa ini yang hanya berdasarkan nilai-nilai sekular yang terlepas dari agama.
B.      dibahas dalam dua disiplin ilmu, yaitu ilmu ekonomi Islam dan ilmu hukum ekonomi Islam. Ekonomi Syari’ah yang menjadi salah satu kewenangan baru Peradilan Agama berdasarkan revisi UU PA. Kewenangan tersebut menyangkut kewenangan mengadili 11 jenis perkara yang dijelaskan oleh pasal 49 huruf (I).
C.      belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang hukum acara dan hukum materiil bank Syari’ah selain beberapa pasal UU perbankan dan Bank Indonesia serta PB1 dan SEBI. Peraturan yang ada berdasarkan fiqh parafu qaha” dan sebagian kecilnya terutama masalah perbankan yang mengandalkan fatwa terbitan DSN.
D.      Melihat kasus yang diajukan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional  (BASYARNAS) sengketa antara bank syari’ah dan nasabah, semuanya berdasarkan akad atau kontrak antara kedua belah pihak, baik akad mudharabah, musyarakat atau murabahah. Dalam penyelesaiannya menggunakan dua hukum yang berbeda antara DSN dan pasal-pasal KUH perdata. Hal itu dilakukan karena ketiadaan peraturan undang-undang tentang perbankan syari’ah, sebelum adanya undang-undang ekonomi syari’ah secara khusus maka kemungkinan besar para hakim PA akan mengadili perkara ekonomi syari’ah berdasarkan hukum perjanjian, baik berdasarkan fiqh para fuqaha’ maupun KUH Perdata.

REFERENSI
http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/viewFile/203/192

Kamis, 31 Mei 2012

Review Jurnal: Perlindungan Konsumen



TUGAS REVIEW JURNAL

KELAS                                  : 2EB05
NAMA KELOMPOK          :            Ade Irene Febri              (20210115)
                                                  Dimas Agung Prayogi      (22210019)
                                                  Levian                             (24210006)
                                                  Rezky Izhardhi N            (25210835)
                                                  Rina Rismawati                (25210972)



Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Elektronik
Jabalnur
1) Bidang Kajian: Sosial
2)Dosen Pada Fakultas Hukum Universitas Haluoleo Kendari
Sulawesi Tenggara 93232


Abstrak

Konsumerisme internet banking maka dapat ditarik kesimpulan internet banking pengguna yang
dilakukan oleh perbankan khususnya bank mandiri menjamin kerahasiaan dan keamanan di manabank mandiri menggunakan teknologi enkripsi lapisan socker aman (SSL) 128 bit dan waktu keluarmetode sesi, di mana setelah 10 menit tanpa aktivitas klien, akan mengakses akan tidak aktifberikutnya. Dalam hukum sisi sistem lainnya Indonesia melindunggi internet perbankan konsumerdengan Undang-undang Nomor 8 tahun 1998 Konsumerisme Tentang bagian 5 huruf hs. Kode Nomor 10 Tahuns 1998 "Perbankan bagian 29 ayat 5 ". Kode Nomor 36 Tahuns 1999 "Telekomunikate" dan UU "Perusahaan dokumen". Demikian pengguna internet banking dalam aturan hukum dasarIndonesia telah mendapat perlindungan hukum.

Pendahuluan

Sistem informasi dan teknologi yang semakin berkembang ini, mengubah perilakukonsumen. Dalam hal melakukan transaksi bisnis maupun transaksi lainnya, konsumen kini sangat mengedepankan aspek praktis, fleksibilitas, dan efisiensi. Bank dan lembaga keuangan lainnya sangat berperan dalam melayani konsumen dalam hal memberikan kemudahan dan keamanan yang tidak memberatkan konsumen serta tidak berbelit-belit. Pengertian perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. (gunawan windjaja, ahmadyani, 5 ; 2003).
                Internet bangking adalah penggunaan internet sebagai terpencil delivery channel untuk layanan perbankan, termasuk jasa tradisional, seperti membuka rekening simpanan atau danamentransfer antara berbeda rekening, serta perbankan baru layanan, seperti tagihan elektronik hadir ment dan pembayaran, yang memungkinkan pelanggan untuk menerima dan membayar atas situs web bank.
Secara konseptual, lembaga keuangan bank menawarkan layanan internet banking melalui dua jalan, pertama melalui bank konvensional dengan reperentasi kantor secara fisik menetapkan website dan menawarkan kepada nasabahnya. kedua suatu bank mendirikan suatu virtual bank menawarkan kepada nasabahnya kemampuan untuk menyimpang deposito dan tagihan dana pada ATM atau bentuk lainnya. Yang ditawarkan pada internet banking adalah:
a)      Multichannel, mengatur penyelesaian hubungan nasabah dalam lembanga keuangan yang tujuananya untuk memperkuat loyalitas dan peningkatan transaksi dan free.
b)      Penyedian tagihan elektronik dan pembayaran.
c)       memperluas pemrosesan kotak uang tradisional mereka ke dalam abad e-payment.
d)      Pembayaran kartu kredit online.
e)      Cek elektronik untuk pembeyaran B2B lebih popular untuk penjuaalan retail.
f)       Aplikasi jaminan online hanya dalam pengunaan kartu kredit yang bersekala kecil.

Resiko yang ada dalam penyelenggaraan internet banking:
a)      Resiko kredit adalah risiko terhadap pendapatan atau modal yang timbul dari kegagalan obligor untuk menyepakati setiap kontrak dengan bank atau sebaliknya.
b)      Risiko suku bunga adalah resiko terhadap pendapatan dan modal yang timbul dari pergerakan dalam suku bunga.
c)       Risiko transaksi adalah resiko yang prospektif dan banyak berdampak pada pendapatan modal.

Pemanfaatan internet banking ini sudah tidak memerlukan pengembangan kantor baruatau wilayah baru yang memerlukan biaya besar. Tidak menutup kemungkinan adanya internet banking yang memberikan solusi yang cukup efektif ini keuntungan dan pembagian pasar akan semakin luas dan besar.

Pembahasan

a.      Perlindungan hukum dengan pendekatan self regulation
Perlindungan hukum preventif atas data pribadi nasabah dengan pendekatan pengaturan secara internal dari sipenyelenggara internet banking itu sendiri. Dengan langka preventif yang dilakukan bank mandiri maka data pribadi nasabah dapat dilindungi dari para hecker. Sebab Bank Mandiri mengunakan system teknologi enkripsi secure socket layer (SSL) 128 bit yang akan menlindungi komunikasi antara computer nasabah dengan server Bank Mandiri. Untuk menambah keamanan digunakan metode time out session,di mana setelah 10 menit tanpa aktivitas nasabah, akses akan tidak aktif lagi.

b.      Perlindungan hukum dengan pendekatan Government regulation.
Internet banking dengan pendekatan government regulation menitik beratkan pada sekumpulan peraturan yang dibentuk oleh pemerintah. untuk kepentingan nasabah bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugiaan bagi transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
Dalam penjelasan pasal bank bekerja dengan dana masyarakat disimpan di bank dengan atas dasar kepercayaan. Dengan demikiaan setiap bank harus menjaga kesehataannya dan memelihara kepercayaan masyarakat.
beberapa ketentuan landasan dalam perlindungan hokum untuk konsumen atas data pribadi nasabah dalam internet banking yakni, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Eloktronik, Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dan Undangundang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan penerapan Undangundang Telekomunikasi untuk mencermati perlindungan data peribadi nasabah. Dan Pasal 22 Undang-undang Telekomunikasi menyatakan setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, memanipulasi seperti: Akses ke jaringan, ke jasa, ke jaringan khusus telekomunikasi.



Kesimpulan

Dari uraian di atas dalam pembahasan perlindungan konsumen internet banking maka dapat ditarik suatu kesimpulan pengguna internet banking yang dilakukan oleh perbankan khususnya Bank Mandiri menjamin kerahasiaan dan keamanan dimana Bank Mandiri menggunakan teknologi enkripsi secure socker layer (SSL) 128 bit dan metode time out session, dimana setelah 10 menit tanpa aktivitas nasabah, akses akan tidak aktif lagi. Selain itu system hukum Indonesia melindunggi konsumen internet banking dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen pasal 5 huruf h. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan pasal 29 ayat 5. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dan Undang-undang Tentang Dokumen Perusahaan. Jadi pengguna internet banking di Indonesia berdasarkan aturan sudah mendapatkan perlindungan hukum.


Referensi

http://jurnal.unhalu.ac.id/download/jabal/PERLINDUNGAN%20KONSUMEN%20DALAM%20TRANSAKSI%20ELOKTRONIK.pdf

Review Jurnal: Hak Kekayaan Intelektual (HKI)



TUGAS REVIEW JURNAL
           
KELAS                                  : 2EB05
NAMA KELOMPOK          :      Ade Irene Febri              (20210115)
                                                  Dimas Agung Prayogi      (22210019)
                                                  Levian                             (24210006)
                                                  Rezky Izhardhi N            (25210835)
                                                  Rina Rismawati                (25210972)
                                               

PEMBERDAYAAN KOPERASI USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM MEMANFAATKAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL Idham Bustamam

Abstrak
          Pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam penelitian ini, hanya ingin tahusecara jelas di lapangan, bagaimana koperasi dan UKM Memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual, dan seberapa jauh pemerintah memberikan promosi ke lembaga yang bersangkutan, sehingga informasi yang diterima oleh koperasi dan UKM dari perusahaan sama. Bunga yang rendah juga di gunakan dalam Hak Kekayaan Intelektual untuk mendaftarkan perusahaan mereka yang tidak mau membayar biaya di luar bisnisnya. Responden sangat ingin menunggu informasi promosi tentang Hak Kekayaan Intelektual dari Pemerintah atau instansi terkait lainnya.


I. PENDAHULUAN


1. Latar Belakang

Dalam era globalisasi sekarang ini, untuk dunia perdagangan internasional batas negara boleh dikatakan hampir tidak ada lagi, karena setiap negara telah menyepakati kesepakatan internasional di bidang perdagangan seperti WTO, APTA, APEC dan lain sebagainya harus tunduk kepada kesepakatan tersebut. Dengan demikian setiap Negara tidak dapat lagi melindungi perekonomiannya dengan kebijakan tariff  maupun fiskal melebihi kesepakatan yang telah diterapkan. Termasuk diantaranya pemberian perhatian khusus terhadap perlindungan pada hak kekayaan Intelektual (HaKI) yang diwujudkan dalam bentuk perjanjian (Agreement Establishing The Word Trade Organization) yaitu salah satu persetujuan di bawah WTO berupa perjanjian atau persetujuan mengenai aspek-aspek dagang yang terkait dengan hak kekayaan intelektual, termasuk perdagangan palsu (Agreement on the Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights atau persetujuan TRIP’s, Including Trade in Counferfeit Goods). Indonesia telah mengikrarkan ikut dalam organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) dengan mengesahkan keikutsertaannya dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1997.
Dalam era tersebut persaingan yang terjadi adalah persaingan antar produsen ataupun perusahaan dan bukan lagi antar negara. Siapa yang dapat bekerja lebih professional dan efisien itulah yang keluar sebagai pemenang dan dapat eksis di pasar.
Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil lebih memberikan leluasa gerak dari usaha kecil. Pada pasal 12/1995 Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (1) huruf f dengan menetapkan Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan untuk:
1.      Menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan dengan mengupayakan terwujudnya sistem pelayanan satu atap;
2.      Memberikan kemudahan persyaratan untuk memperoleh perizinan.
Di bidang Perkoperasian Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, pasal 61 menyebutkan antara lain: “Dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim kondusif yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan Koperasi, Pemerintah :
1.      Memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada Koperasi;
2.      Meningkatkan dan memantapkan kemampuan Koperasi agar menjadi Koperasi yang sehat, tangguh dan mandiri;
3.      Mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara Koperasi dengan badan usaha lainnya;
4.      Memberdayakan Koperasi dalam masyarakat.
Berbagai kebijakan tersebut diatas mengindikasikan pemerintah sangat peduli akan tumbuh dan berkembangnya Koperasi dan Usaha Kecil dengan melindungi dan memberikan iklim, baik untuk Koperasi dan Usaha Kecil. Undang-Undang yang memuat ketentuan-ketentuan tentang merek pertama kali dikenal dengan di undangkannya Undang- Undang No. 21 Tahun 1961 tentang “Merek Perusahaan dan Perniagaan”.
Perkembangan perdagangan dunia internasional yang semakin cepat, menuntut kesepakatan dan komitmen terhadap pengurangan segala hambatan-hambatan perdagangan dunia internasional di berbagai aspek tetapi menjunjung tinggi azas legalitas yang telah disepakati bersama.

2. Rumusan Masalah
Kalau dilihat dari judul penelitian, maka dapatlah diidentifikasi permasalahan sebagai berikut :
1.      Sejauh mana sebenarnya minat dari Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).
2.      Sejauhmana pemberian penyuluhan-penyuluhan HaKI oleh lembagalembaga pemerintah yang terkait.
3.      Sejauhmana hambatan-hambatan yang dihadapi Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah selaku pemanfaat HaKI.

3. Tujuan dan Manfaat
1.      Tujuan
Tujuan dari penelitian ini dapat disampaikan antara lain :
§  Seberapa minat untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) bagi Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.
§  Faktor-faktor penyebab kurang minatnya untuk memanfaatkan Hak kekayaan Intelektual (HaKI) bagi koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.
2.      Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga, dinas terkait, serta KUKM sebagai bahan penyusunan rencana kebijakan yang akan datang.

4. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi :
1.      Gambaran produk-produk yang dihasilkan KUKM
2.      Langkah-langkah operasional yang telah dilakukan instansi, dinas yang menangani HaKI
3.      Faktor-faktor penghambat dalam mendapatkan HaKI oleh Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.


II. KERANGKA PEMIKIRAN
Arti penting HaKI adalah :
1.      “Sebagai suatu sistem, HaKI sebagai sarana pemberian hak kepada pihak-pihak yang memenuhi persyaratan dan memberikan perlindungan bagi para pemegang hak dimaksud; dan
2.      HaKI adalah alat pendukung pertumbuhan ekonomi sebab dengan adanya perlindungan terhadap HaKI akan terbangkitkan motivasi manusia untuk menghasilkan karya intelektual”. (UU Hak Cipta, Paten & Merek, 2001).


1. Merek
Di dalam Undang-undang Republik Indonesia tentang PATEN dan MEREK Tahun 2001, khusus untuk merek diatur oleh Undangundang Merek Nomor 15 Tahun 2001. Yang dimaksud “Merek” adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.
Perlindungan hukum bagi pemilik merek tidak hanya dapat dipandang dari aspek hukum saja, tetapi perlu dipandang dari aspek ekonomi dan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dalam Undangundang Merek Nomor 15 Tahun 2001 pasal 90 berbunyi; “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama atau keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.


2. Sosialisasi Mendapatkan HaKI
Untuk meningkatkan kesadaran tentang HaKI sangat perlu dilakukan sosialisasi pada masyarakat. Penilaian komersial patut dihargai bagi seseorang yang telah maju dalam berbisnis. Nilai komersial bisa hilang apabila usaha tersebut tidak diikat erat-erat dengan ketentuan perundang-undangan. Di Indonesia kelihatannya HaKI kurang diminati oleh pelaku bisnis, karena kurangnya penyuluhan, kurangnya pembinaan pemerintah bagi usaha yang telah mulai baik jalannya. Hal tersebut disebabkan kultur masyarakat yang beranggapan memperbanyak karya intelektual dengan mempromosikan karya tersebut tidak perlu otorisasi, ada yang beranggapan tanpa HaKI barang/produk juga terjual, dan biaya administrasi tinggi berarti menambah beban usaha saja. Persepsi yang keliru di kalangan masyarakat khususnya pengusaha tersebut perlu segera diluruskan dan diperbaiki dengan memberikan pengertian-pengertian yang jelas tentang HaKI.
Tujuan sosialisasi dibidang HaKI adalah untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mengenai sistem HaKI nasional maupun internasional termasuk dalam hal merek.


3. Sengketa Merek Bagi Pelaku Bisnis
Sengketa merek sering terjadi bagi pengusaha yang usahanya sudah maju dan berkembang dengan baik dengan merek dagang dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat, dimana merek dagangnya telah dipalsukan oleh pengusaha lainnya.
Sengketa penggunaan merek tanpa hak dapat digugat dengan delik perdata maupun pidana, disamping pembatalan pendaftaran merek tersebut. Tindak pidana dalam hal merek dapat dibagi 2, yaitu Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan : Pasal 92 ayat 1 : “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


III. METODE PENELITIAN


1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terpilih sampel ada 4 (empat) propinsi yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Lampung. Terpilihnya empat propinsi tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bahwa informasi dan data diperoleh dapat mewakili Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah yang tersebar sampai pelosok Indonesia. Demikian pula jenis usaha yang akan dilihat beragam usaha industri rumah tangga, merupakan mata pencaharian tetap bagi pebisnis kecil, dengan administrasi sangat sederhana, tenaga kerja setempat (lokal), jam kerja pun belum tentu memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah. Disamping itu pertimbangan lain adalah dana dan tenaga yang tersedia.
Dengan memadukan beberapa propinsi yang mempunyai penghasilan beragam, tentunya akan muncul pendapat responden tentang minat memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual.


2. Penarikan Sampel
Penelitian ini mempergunakan teknik antara lain :
a. Field Work Research
Penelitian langsung ke lapangan tempat obyeknya (observasi). Dengan cara interview-interview sekaligus mengisi daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Interview untuk Koperasi dapat ditujukan pada pengurus koperasi dan manajer koperasi. Bagi usaha kecil dan menengah interview langsung ditujukan pada pemilik usaha. Pada umumnya dua orang atau lebih hadir secara fisik dalam proses tanya jawab ini, dan masing-masing pihak dapat menggunakan saluran-saluran komunikasi secara wajar dan lancar.
b. Library Research
Pengamatan deskriptif diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang berbagai permasalahan yang berhubungan dengan materi penelitian. Teknik tersebut sangat banyak manfaatnya, memberikan keterpaduan antara teori dengan praktek lapangan.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Karakteristik Pengusaha


1). Persepsi Dan Pemanfataan HaKI
Dari hasil survei lapangan diketahui bahwa 100,00% responden menyatakan pernah mendengar tentang HaKI. Penyuluhan yang telah diperoleh yaitu, dari instansi terkait (pembina) hanya 18,75%, melalui media massa 5,00%, dan melalui pengusaha 76,25%. Pemahaman tentang HaKI, dari responden yang mengatakan mamahami 30,00%, dan yang tidak paham HaKI 70,00%. Guna kemajuan usaha telah pula diperoleh informasi yang jelas, bahwa responden mengatakan tanpa HaKI perusahaan tetap jalan 75,00%, dan yang mengatakan terhambat jalannya 25,00% (tabel 1).



Dari data-data yang telah diperoleh bahwa penyuluhan-penyuluhan tentang arti dan pentingnya HaKI perlu ditingkatkan secara kontinu dari pemerintah.
2). Minat Mendapatkan HaKI
Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah yang mengatakan berminat mendapatkan HaKI sebesar 2,25%, kurang minat 52,50%, dan tidak berminat akan HaKI sebesar 45,25%. Kalau mendapatkan HaKI dalam bentuk paten sebesar 52,50%, dan bentuk merek 47,50% (tabel 2).



Para pengusaha mengatakan bahwa belum sepenuhnya tahu mengurus administrasi HaKI. Disamping itu modal usaha yang dimiliki masih relatif kecil dengan teknologi sederhana.
3). Pemilikan HaKI Dan Produk Usaha
Hasil survei mengatakan bahwa apabila memperoleh HaKI dipergunakan untuk usaha sendiri sebesar 100,00%. Sedangkan produk yang akan didaftarkan adalah hasil temuan sendiri 82,50%. Produk mendapatkan HaKI adalah produk yang tidak memiliki saingan 77,50%, (tabel 3). Pengusaha sebagai responden, usaha yang dikelola umumnya usaha turun temurun dan telah ditekuni berpuluh-puluh tahun.



4). Penyuluhan dan Biaya Mendapatkan Informasi
Sebagian responden HaKI mendapat hambatan dalam mencari informasinya namun responden tetap menunggu penyuluhan dari pemerintah, instansi terkait. Hasil survei menggambarkan bahwa tidak ada biaya bila mencari sendiri sebesar 40%. Dapat dirinci sebagai berikut: Kaltim 30,00%, Kalsel 35,00%, Kalteng 45,00%, dan Lampung 50,00%. Apabila mencari dan mendengar dari orang lain maka responden merasa kurang yakin kebenarannya, rata-rata jawaban responden 35,00%. Dapat dirinci sebagai berikut: Kalsel 25,00%, Kalteng 30,00%, Kaltim 45,00%, dan Lampung 40,00%. Menunggu penyuluhan dari pemerintah, instansi terkait yang berwenang memberikan penyuluhan lebih menguntungkan menurut responden, rata-rata 33,75%. Adapun rinciannya sebagai berikut: Kalsel 45,00%, Kalteng 30,00%, Kaltim 20,00%, dan Lampung 40,00%.
Menunggu penyuluhan dari pemerintah, instansi terkait, selain jelas penyuluhan diperoleh, dan juga kemudahan pemanfaatannya, rata-rata responden memberikan pendapatnya sebesar 55,00%. Adapun rinciannya sebagai berikut: Kalsel 75,00%, Kalteng 35,00%, Kaltim 50,00%, dan Lampung 60,00%, (tabel 4).



5). Biaya Pengurusan HaKI
Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mengurus HaKI cukup besar, dan beragam untuk tiap daerah. Dari daftar pertanyaan yang disampaikan, seluruhnya menjawab, ya (100,00%). Untuk administrasi dijawab rata-rata 57,25%, untuk pendaftaran rata-rata 30,50%, biaya lain-lain di jawab 52,50% (tabel 5). Kalau dirinci propinsi sampel bahwa memang ada biaya dikeluarkan, dapat disampaikan jawaban sebagai berikut: Biaya administrasi daerah responden Kalsel 50,00%, Kalteng 72,00%, Kaltim 32,00% dan Lampung 75,00%. Biaya pendaftaran Kalsel 50,00%, Kalteng 23,00%, Kaltim 24,00%, dan Lampung 25,00%. Biaya lain-lain Kalsel 75,00%, Kalteng 55,00%, Kaltim 50,00%, dan Lampung 30,00%.



Dari hasil Pengamatan lapangan, ada indikasi tentang keengganan pengusaha untuk mengeluarkan biaya pengurusan HaKI. Apabila modal kerja dikeluarkan bukan untuk membiayai usaha perusahaan, dikhawatirkan kegiatan usaha akan terganggu.
6). Keuntungan Memiliki HaKI
Dari jawaban responden diketahui bahwa 42,00% menyatakan bahwa pemilikan HaKI memberikan keuntungan. Kalau dijabarkan secara rinci per propinsi adalah sebagai berikut: Memberikan keuntungan, Kalsel 60,00%, Kalteng 40,00%, Kaltim 40,00% dan Lampung 30,00%. Tidak memberikan keuntungan, Kalsel 40,00%, Kalteng 60,00%, Kaltim 60,00%, dan Lampung 70,00%.
Keuntungan produksi mendapatkan jaminan rata-rata 48,25%, nilai komersilnya naik menjawab 29,25%, mendapatkan kepuasan moral 3,75%, dan dapat dijual belikan menjawab 18,75% (tabel 6).



2. Faktor Mempengaruhi Mendapatkan HaKI
1). Permohonan Dan Biaya HaKI
Persyaratan pengajuan permohonan untuk mendapatkan HaKI telah ditetapkan oleh Departemen Hukum Dan HAM Cq. Direktorat Jenderal HaKI. Baik untuk permohonan Paten maupun Merek.
Permohonan administrasi sebagai berikut:
- Pemohon langsung mengajukan permohonan kepada Dirjen HaKI di Jakarta.
- Mengoreksi salah atau benar permohonan oleh Ditjen HaKI melalui Tim.
- Permohonan ditolak Ditjen HaKI, untuk perbaikan cukup memakan waktu.
- Pembayaran biaya permohonan, rekening nomor 311928974 BRI Cabang Tangerang atas nama Direktorat Jenderal HaKI.
- Kantor Wilayah (Daerah) atau pejabat yang ditunjuk, membubuhkan tanda tangan dan stempel pada permohonan diterima.
(1). Biaya Paten antara lain terdiri dari :
- Biaya permohonan paten
- Biaya pemeriksaan substansi paten
- Penulisan deskripsi, abstrak, gambar
- Biaya lain-lain
(2). Biaya Merek antara lain terdiri dari :
- Biaya permohonan merek
- Biaya perpanjangan merek
- Biaya pencatatan pengalihan hak merek
- Biaya lain-lain


2). Usaha Koperasi dan Usaha Kecil
Responden yang diwawancarai kebanyakan usaha bergerak dalam lingkungan industri kerajinan rakyat (industri alat rumah tangga). Kegiatan usaha mempekerjakan keluarga, tetangga dan penduduk sekitar tempat usaha. Pengembangan usaha relatiflamban, karena modal kecil, usaha turun temurun, kadangkadang produksi berdasarkan pesanan. Bagi koperasi, jenis usaha ditekuni umumnya unit toko dan unit simpan pinjam yang kebanyakan melayani anggotanya. Ada jenis usaha lain yang didirikan koperasi, tapi belum banyak berkembang, oleh karena itu untuk membiayai usaha tersebut diambilkan dananya dari usaha yang telah maju.
Bagi usaha koperasi pengambilan keputusannya berbeda sekali dengan keputusan diambil usaha kecil termasuk usaha menengah. Keputusan yang diambil koperasi berdasarkan kehendak para anggota, disalurkan melalui rapat anggota. Pengurus koperasi tidak mempunyai wewenang dalam menentukan kegiatan baru, lebih-lebih kegiatan tersebut memerlukan biaya-biaya.
Bila pengurus ingin untuk mendapatkan HaKI, maka pengurus koperasi harus mendapatkan persetujuan dari anggota dengan rencana kerja yang disahkan. Koperasi milik anggota dengan semboyan “dari, oleh, untuk” anggota. Rencana kerja yang telah disahkan melalui rapat, sangat penting bagi organisasi koperasi untuk mengetahui hasil kerja pengurus dalam satu tahun buku. Didalam neraca tahunan terlihat apakah suatu koperasi rugi atau untung. Karena lambatnya keputusan yang diambil harus melalui rapat anggota, bila ada peluang usaha yang harus diputuskan waktu itu juga, tidak dapat diputuskan. Akibatnya koperasi tidak dapat mengambil peluang usaha. Beberapa orang pengurus dan manager yang ditunjuk mengelola usaha koperasi, bukan membuat keputusan tetapi menjalankan keputusan yang telah ada berdasarkan hasil rapat anggota. Pengurus mempertanggung jawabkan hasil kerjanya selama tahun buku kepada rapat anggota, sedangkan manager mempertanggung jawabkan hasil kerjanya kepada pengurus, karena manager diangkat pengurus dalam surat keputusan dengan masa jabatan telah ditetapkan. Pekerjaan yang ada di koperasi, baik administrasi organisasi, administrasi usaha dipertanggung jawabkan pengurus pada akhir tahun buku dalam rapat anggota tahunan (RAT).
3). Kiat-Kiat Peningkatan Pemanfaatan HaKI
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) sudah seharusnya dapat meningkatkan pemanfaatan penggunana HaKI oleh koperasi, usaha kecil dan menengah. Memberikan peran yang luas pada Kanwil Hukum Dan HAM didaerah (dinas didaerah) antara lain :
(1). Pemberian penyuluhan bersama dinas terkait secara kontinu.
(2). Permohonan yang disampaikan koperasi, usaha kecil dan menengah melalui Kanwil Hukum Dan HAM di daerah (dinas daerah), segera dikirim kepada Direktorat Jenderal HaKI di Jakarta, untuk disahkan.
(3). Bagi daerah pemohon yang tinggal dipedesaaan jauh dari Jakarta (luar Jawa), administrasi pemohon dijamin tidak mengalami kekeliruan.
(4). Biaya permohonan, biaya lain-lain, besar biayanya ditinjau kembali.


V. KESIMPULAN DAN SARAN


1. Kesimpulan


Dari hasil survei lapangan dapat disimpulkan sebagai berikut:


1). Rata-rata responden pernah mendengar HaKI (100,00%), tetapi belum mengerti arti dan pentingnya, serta prosedur pengajuan administrasi.
2). Rata-rata responden mengatakan tanpa HaKI perusahaan tetap jalan (75,00%). Usaha dikelola kecil-kecil dan diantaranya ada usaha yang turun-temurun
3). Rata-rata responden mengatakan kurang berminat memiliki HaKI (52,50%), dan tidak berminat (45,25%). Ini disebabkan biaya dikeluarkan akan mengganggu kelancaran usaha.
4). Hasil jajak pendapat dilapangan (survei responden) mengatakan, menunggu penyuluhan tentang HaKI dari pemerintah dan instansi terkait.


2. Saran-Saran


1). Penyuluhan HaKI didaerah-daerah terus ditingkatkan, agar koperasi, usaha kecil dan menengah mengetahui arti dan pentingnya HaKI.
2). Biaya permohonan, biaya administrasi, dan biaya lain-lain agar ditinjau kembali, termasuk syarat pembayaran. Pembayaran oleh pemohon setelah permohonan diterima, yang disyahkan Direktorat Jenderal HaKI Jakarta.

Daftar Pustaka

·                     Anonimous, (1992). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Departemen Koperasi, Direktorat Jenderal Bina Lembaga Koperasi. Jakarta.
·                     Anonimous, (1995). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1995 Tentang Usaha Kecil Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Direktorat Jenderal Pembinaan Koperasi Perkotaan. Jakarta.
·                     Anonimous, (2001). Undang-undang Republik Indonesia Tentang Paten dan Merek Tahun 2001. Penerbit “Citra Umbara”. Bandung.
·                     Hadi Sutrisno, (1993). Metodologi Research. Penerbit. “Andi Offset”, Yogyakarta.
·                     Maulana Insan Budi, (2000). Peran Serta LSM dalam Pemberdayaan KPKM di Bidang HaKI khususnya Merek Dagang. Disampaikan dalam Workshop Pemberdayaan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Melalui Kebijakan Merek Dagang dalam Menghadapi Diberlakukannya Kesepakatan Ketentuan TRIP’s. Jakarta.
·                      Nahar Rahimi SH, (2000). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Merek di Indonesia. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta.
·                     Singgih Santoso, (2000). Buku Latihan SPSS Statistik Paramatrik. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
·                     Sugiyono, (2003). Metode Penelitian Bisnis. Alfa Beta, Bandung.
·                     Suharto, Tata Iryanto, (1996). Kamus Bahasa Indonesia Terbaru. Penerbit “Indah”. Surabaya.
·                     Umar Achmad Zen P, (2000). Sosialisasi dan Penegak Hukum di Bidang HaKI Khususnya yang Berkaitan dengan Merek Dagang. Disampaikan dalam Workshop Pemberdayaan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Melalui Kebijakan Merek Dagang dalam Menghadapi Diberlakukannya Kesepakatan Ketentuan TRIP’s. Jakarta.

Sumber :
http://www.smecda.com/kajian/files/jurnal/_2_%20Jurnal_haki_Idham.pdf

Senin, 30 April 2012

PEMERINTAH SEBAGAI SUBJEK HUKUM PERDATA DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG ATAU JASA


Nama Kelompok :       Ade Irene Febri. L
                                    Dimas Agung. P
                                    Levian
                                    Rezky Izhardi
                                    Rina Rismawati

Kelas :                         2EB05



 ABSTRACT
Dalam pembagiannya subjek hukum Perdata terdiri atas manusia (naturlijkperson) dan badan hukum (rechtperson). Tetapi dalam perkembangannya, ternyata pemerintah yang adalah lembaga publik dapat juga melakukan tindakan hukum perdata, hal ini dapt dibuktikan dengan terlibatnya pemerintah sebagai salah satu pihak dalam kontrak pengadaan barang atau jasa. Berdasarkan hasil penelusuran ternyata bahwa, ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, maka pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum bukan wakil dari jabatan, sehingga tindakan pemerintah tersebut adalah tindakan badan hukum.

Keyword: pemerintah, subjek hukum.

A. LATAR BELAKANG
            Secara umum, hukum terbagi atas dua bagian yaitu hukum publik dan hukum private.  Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan negara atau negara dengan warga negara. Hukum privat yaitu hukum yang mengatur hubungan antara satu orang dengan orang lain atau subjek hukum lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan. Berdasarkan pengertiannya, maka subjek hukum perdata terdiri atas orang dan badan hukum.
            Dalam kehidupan sehari-hari, baik pemerintah maupun masyarakat pasti pernah terlibat dengan kegiatan jual-beli.  Sebagai contoh, pemerintah membeli peralatan kantor, pembangunan gedung, pembelian senjata dan sebagainya guna mempertahankan & meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.  Sedangkan dalam hal jasa, pemerintah biasanya menggunakan jasa konsultan, dll.
            Untuk memenuhi kebutuhannya, pemerintah harus tetap mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.  Prosedur pengadaan barang/jasa dapat dilakukan dengan menggunakan penyedia barang/jasa dan juga dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah secara swakelola. Agar pengadaan prosedur tersebut mempunyai kekuatan hukum, maka harus mempunyai kekuatan hukum yang saling mengikat disemua pihak yang terlibat didalamnya, maka hubungan tersebut harus dibingkai yang kita kenal dengan kontrak.  Dalam pasal 1 angka 22 Perpres 54 Tahun 2010 disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan kontrak adalah perjanjian tertulis antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)1 dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola.
            Sebagaimana layaknya sebuah perjanjian, dalam sebuah kontrak para pihak yang mengikatkan diri adalah subjek hukum. Adapun yang dimaksud dengan subjek hukum disini adalah subjek hukum perdata.

B. PEMBAHASAN

1. Subjek Hukum Perdata
            Lazimnya dalam hukum di kenal dengan istilah subjek hukum. Tetapi manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum. Karena masih ada subjek hukum lainnya yaitu segala sesuatu yang menurut hukum dapat mempunyai hak dan kewajiban, termasuk apa yang di sebut badan hukum.

2 Istilah subjek Hukum berasal dari terjemahan rechsubject (Belanda) atau law of subject (Inggris).

Subjek Hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting, yaitu :
1. Beradasarkan ketentuan pasal 1 angka 7 Perpres 54 Tahun 2010, maka yang dimaksudkan dengan Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.

2. Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 2005, hal.4. Orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang-orang yang telah dewasa dan/atau sudah kawin. Sedangkan orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang di taruh di bawah pengampuan dan seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 BW). Tapi dalam perkembangannya seorang istri dapat juga mealakukan perbuatan hukum sendiri, baik untuk membuat perjanjian maupun untuk menghadap ke pengadilan.3

2. Kedudukan Pemerintah
            Dalam perspektif hukum publik negara adalah organisasi jabatan. Di antara jabatan-jabatan kenegaraan ini terdapat jabatan pemerintahan, yang menjadi objek hukum administrasi negara. Menurut P. Nicolai ada beberapa ciri yang terdapat pada jabatan atau organ pemerintahan yaitu:
·         Organ pemerintahan menjalankan wewenang atas nama dan tanggungjawab sendiri, yang dalam pengertian moderen diletakkan sebagai pertanggungjawaban politik dan kepegawaian atau tanggungjawab pemerintah sendiri di hadapan Hakim. Organ pemerintah adalah pemikul kewajiban tanggung jawab.
·         Pelaksanaan wewenang dalam rangka menjaga dan mempertahankan norma hukum administrasi, organ pemerintahan dapat bertindak sebagai pihak tergugat dalam proses peradilan, yaitu dalam hal ada keberatan, banding atau perlawanan.
·         Di samping sebagai pihak tergugat, organ pemerintahan juga dapat tampil menjadi pihak yang tidak puas, artinya sebagai penggugat.
Meskipun jabatan pemerintahan ini dilekati dengan hak dan kewajiban atau diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukum, namun jabatan tidak dapat bertindak sendiri. Antara jabatan dengan pejabat memiliki hubungan yang erat, namun diantara keduanya sebenarnya memiliki kedudukan hukum yang berbeda atau terpisah dan diatur dengan hukum yang berbeda. Jabatan diatur oleh hukum tata negara dan hukum administrasi, sedangkan pejabat diatur dan tunduk pada hukum kepegawaian. Tindakan hukum jabatan pemerintah dijalankan oleh pemerintah. Dengan demikian, kedudukan hukum pemerintah berdasarkan hukum publik adalah wakil dari jabatan pemerintahan. Tindakan hukum jabatan pemerintah dijalankan oleh pemerintah. Dengan demikian, kedudukan hukum pemerintah berdasarkan hukum publik adalah wakil dari jabatan pemerintahan.


3. Pemerintah Sebagai Subjek Hukum Perdata Dalam Kontrak Pengadaan Barang Atau Jasa
Pemerintah menjadi salah satu pihak dalam sebuah kontrak. Dalam konteks demikian pemerintah tidak dapat memposisikan dirinya lebih tinggi dari penyedia barang atau jasanya, walaupun pemerintah merupakan lembaga yang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat mengatur (regulator). Hal ini dikarenakan dalam hukum perjanjian para pihak mempunyai kedudukan yang sama, sebagaimana tercermin dalam pasal 1338 BW.
Keterlibatan pemerintah dalam suatu hubungan kontraktual ini berbeda dengan kontrak komersial pada umumnya, karena karakteristik dari kontrak ini tidak murni lagi merupakan tindakan hukum privat tetapi juga sudah ada campuran hukum publik di dalamnya. Keterlibatan pemerintah dalam kontrak ini menunjukan tindakan pemerintah tersebut diklasifikasikan dalam tindakan pemerintahan yang bersifat keperdataan.
            Pemerintah sebagai salah satu subjek hukum dalam tindakan perdata, maka pemerintah merupakan badan hukum, karena menurut Apeldoorn negara, propinsi, kotapraja dan lain sebaginya adalah badan hukum. Hanya saja pendiriannya tidak dilakukan secara khusus, melainkan tumbuh secara historis. Pemerintah sebagai badan hukum juga dapat di temukan dalam pasal 1653 BW, yang menyebutkan:
“ Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga di akui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum. Selanjutnya pemerintah selaku badan hukum dapat melakukan tindakan perdata sebagimana di tegaskan dalam pasal 1654 BW, yang menyebutkan:
“ Semua badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasi atau menundukkannya kepada tata cara tertentu”.
Sebagai subjek hukum perdata pemerintah dapat mengikatkan dirinya dengan pihak ketiga dalam hal ini penyedia barang ataiu jasa. Hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, sampai kepada prosedur pelaksanaannya harus diatur secara jelas dan dituangkan dalam bentuk kontrak.
Jenis kontrak yang melibatkan pemerintah sebagai salah satu pihak pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua jenis yakni: kontrak komersial (commercial contract) dan kontrak kebijaksanaan (beleidsoverenkomst). Kontrak komersial dapat dibedakan menjadi dua jenis yakni kontrak pengadaan barang dan jasa (procurement contract) dan kontrak non pengadaan (non-procurement contract). Kedudukan Pemerintah dalam kontrak juga tidak memiliki kedudukan yang istimewa, dan dapat menjadi pihak dalam sengketa keperdataan dengan kedudukan yang sama dengan seseorang atau badan hukum perdata dalam peradilan umum.
C. PENUTUP
KESIMPULAN
Hukum terbagi atas dua bagian yaitu hukum publik dan hukum private.  Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan negara atau negara dengan warga negara. Hukum privat yaitu hukum yang mengatur hubungan antara satu orang dengan orang lain atau subjek hukum lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan. Pemerintah sebagai salah satu subjek hukum dalam tindakan perdata, maka pemerintah merupakan badan hukum. Keterlibatan pemerintah dalam suatu hubungan kontraktual ini berbeda dengan kontrak komersial pada umumnya, karena karakteristik dari kontrak ini tidak murni lagi merupakan tindakan hukum privat tetapi juga sudah ada campuran hukum publik di dalamnya. Keterlibatan pemerintah dalam kontrak ini menunjukan tindakan pemerintah tersebut diklasifikasikan dalam tindakan pemerintahan yang bersifat keperdataan.
SARAN
            Berdasarkan materi penulisan ini, sebaiknya pemerintah dan jajarannya lebih memahami apa maksud dan tujuan dari pengadaan kontrak barang/jasa. Dan juga memperhatikan peraturan-peraturan dalam kontrak. apabila timbul permasalahan akibat hubungan hukum yang dilakukan, maka Kedudukan Pemerintah dapat menjadi pihak dalam sengketa keperdataan dengan kedudukan yang sama dengan seseorang atau badan hukum perdata dalam peradilan umum.
 DAFTAR PUSTAKA
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 2005;
Daliyo, J. B, et.all, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992;
Philipus M. Hadjon, et.all., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
L. J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Noor Komala, Jakarta, 1982;
Salim H. S. Pengantar Hukum Perdata tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008;
Simamora,Yohanes Sogar, Pembentukan Dan Pelaksanaan Kontrak Pengadaan, Seminar Nasional Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2006;
Soemitro, Rochmat, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, Eresco, Bandung,1993