Sabtu, 02 Juni 2012

Review Jurnal Hukum Perjanjian Internasional



Nama Kelompok :

Ade Irene Febri               (20210115)
Dimas Agung Prayogi    (22210019)
Levian                               (24210006)
Rezky Izhardhi N              (25210835)
Rina Rismawati               (25210972)

Kelas :

2EB05

Kajian Akademis (Teoritid dan Praktis) atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Berdasarkan Hukum Perjanjian Internasional

Abstract
Ada banyak berbagai pendapat tentang Undang-Undang perjanjian yang telah di tetapkan pemerintah Indonesia pada taun 2000, termasuk apakah sudah diterapkan dengan benar dan dipahami dengan benar. Artikel ini membahas analisis akademik tertentu pada hukum No 24 Tahun 2000 tentang perjanjian dari sudut pandang hukum perjanjian.

1.                   Pendahuluan

Hukum perjanjian internasional telah diformulasikan ke dalam bentuk hukum tertulis yang berupa dua konvensi yakni :
·         Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional yang hanya mengatur perjanjian-perjanjian internasional antara negara dan negara saja
·         Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian internasional antara Organisasi Internasional dan Negara dan antara Organisasi Internasional dan Organisasi Internasional

Pada dasarnya, kedua Konvensi ini mengatur tentang proses atau tahap-tahap dalam pembuatan sampai pengakhiran perjanjian internasional.
Keterikatan atau tunduknya suatu negara pada suatu perjanjian internasional mengandung aspek eksternal dan aspek internal. Aspek eksternal adalah negara itu memikul kewajiban dan menerima hak dari perjanjian internasional itu. Sedangkan aspek internalnya adalah perjanjian internasional itu masuk dan berlaku sebagai bagian dari hukum nasionalnya. Masalah-masalah sudah mulai terjadi ketika pemerintah begara itu bermaksud akan membuat perjanjian internasional. Ini lebih tampak sebagai masalah prosedur.
Masalah internal lainnya yang lebih substansial adalah dampak atau pengaruh dari masuknya perjanjian internasional itu ke dalam hukum nasional atau peraturan perundanga-undangan nasional negara.dalam hal ini dibutuhkan adanya pengharmonisasian atau penyelarasana antara substansi perjanjian dengan substansi dari hukum atau peraturan perundang-undangan nasional yang terkait.

2.                   Dasar Hukum dari Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Indonesia

Secara kronologis, periodeisasi dasar hukum dari perjanjian internasional dalam sejarah hukum Indonesia adalah :


II.1. Periode 17Agustus 1945 – 18 Desember 1949, Periode 18 Desember 1949 – 17 Agustus 1950, dan Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959

Dalam periode 17 Agustus 1945 – 18 Desember 1949, dasar hukum perjanjian internasional dapat dijumpai dalam Pasal 11 UUD 1945. Karna bentuk negara RI diubah dari negara kesatuan menjadi negara serikat, maka yang menjadi dasar hukum dari perjanjian internasional yaitu Bab IV Bagian 5 (18 Desember 1949 – 17 Agustus 1950).
Lalu periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 menggunakan UUDS 1950 Pasal 120 ayat 1 dan 2 dan Pasal 121 menjadi dasar hukum dari perjanjian internasional.

II.2. Periode 5 Juli 1959 – 23 Oktober 2000
II.2.1. Berlakunya kembali UUD 1945 dan Pasal 11 UUD 1945 sebagai dasar hukum dari perjanjian internasional

Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 yang salah satu isinya adalah “Kembali ke UUD 1945”, maka sejak itu UUD 1945 mulai berlaku kembali. Bentuk negara tetap sebagai negara kesatuan, hanya UUDnya saja yang diganti. Dengan demikian, dasar hukum dari perjanjian internasional juga kembali pada Pasal 11 UUD 1945 dengan rumusan yang tidak berubah.

II.2.2. Surat Presiden Nomor: 2826/HK/1960 Tanggal 22 Agustus 1960

Surat presiden ini pada hakekatnya merupakan pendapat atau penafsiran dai Presiden atau Pemerintah tentang ruang lingkup substansi dari Pasal 11 UUD 1945. Adapun isi pokok dari Surat Presiden ini dapat dirincikan sebagai berikut:
1.       Tidak setiap perjanjian yang dibuat oleh Presiden dengan negara asing harus diajukan kepada Dewan untuk mendapatkan persetujuan.
2.       Jika mengenai perjanian-perjanjian yang substansinya kecil juga harus membutuhkan persetujuan Dewan terlebih dahulu, akibatnya Pemerintah tidak akan mempunyai keleluasaan untuk bertindak dalam melakukan hubungan-hubungan internasional yang membutuhkan langkah cepat dari Pemerintah.
3.       Untuk menjamin kelancaran kerjasama antara Pemerintah dan Dewan berkenaan dengan Pasal 11 UUD 1945, Pemerintah akan meminta persetujuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, hanya mengenai perjanjian-perjanjian yang penting saja (treaties).
4.       Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Pemerintah berpendapat, perjanjian-perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR umtuk mendapatkan persetujuan sebelum disahkan oleh Presiden adalah perjanjian-perjanjian yang lazimnya berbentuk treaty.

II.3. Periode 23 Oktober 2000 – Sekarang: Masa berlakunya UUD 1945 (sesudah Perubahan) dan mulai berlakunya UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian InternasionalII.3.1. Pasal 11 UUD 1945 Perubaha Ketiga (2001) dan Keempat (2002)

Pada Perubahan Ketiga (2001), naskah Pasal 11 lama tampaknya dihapuskan sedangkan ayat 2 dan 3 nya merupakan hasil Perubahan Ketiga. Akan tetapi dalam Perubahan Keempat (2002), Pasal 11 naskah yang lama ternyata dimunculkan lagi dan dijadikan seabagi Pasal 11 ayat 1.
Ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan berkenaan dengan substansi dari Pasal 11 ayat 1, ayat 2, dan 3:
·         Terhadap ayat 1 yang merupakan naskah lama, tidak tepat untuk disatukan pengaturan tentang menyatakan perang dan membuat perdamaian pada satu pihak dan membuat perjanjian internasional pada pihak lain di dalam satu pasal ataupun ayat, sebab keduanya berbeda.
·         Terhadap ayat 2 sebagai naskah baru yang substansinya lebih tampak sebagai kriteria tentang suatu perjanjian internasional yang harus membutuhkan persetujuan DPR.
·         Mubculnya ketentuan ayat 2 yang mengharuskan Presiden meminta persetujuan Dewan dalam pembuatan perjanjian-perjanjian internasional yang materinya sangat penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak, tampaknya disebabkan karena perancang naskah ayat 2 ini menafsirkan ayat 1 sebagai bersifat fakultatif.

III.  Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional: Beberapa Catatan dan Komentar

Secara umum dapat dikatakan, bahwa UU ini sudah lebih lengkap jika dibandingkan dengan Surat Presiden di atas. Akan tetapi, UU ini menyatukan antara perjanjian internasional yang diatur dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986, padahal keduanya walaupun ada cukup banyak persamaan, juga ada perbedaannya.
Memang sistimatikanya sudah tampak adanya keselarasan, namun sistematika ini tidak sepenuhnya sesuai mengikuti urutan-urutan dalam kedua Konvensi walaupun tidak harus sama persis.
Secara khusus, terlihat adanya masalah dalam hal “Pengesahan”. Tidak jelasnya perbedaan antara “Pengesahan” dalam pengertian “Pengikatan diri atau Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian Internasional” pada satu pihak dengan “Pengesahan” dalam pengertian “Pemberlakuan suatu Perjanjian Internasional ke dalam Kukum Nasional Indonesia” pada pihak lain.
Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan, dan persetujuan. (Pasal 1 butir b)
Dari definisi ini tampak jelas, bahwa yang dimaksudkan dengan pengertian pengesahan dalam  Pasal 1 butir b ini adalah sama dengan pengikatan diri atau persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 11-17 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 11-17 Konvensi Wina 1986.
Selain itu, UU ini membedakan perjanjian internasional ke dalam dua golongan yakni :
·         Perjanjian internasional yang diberlakukan dengan undang-undang (Pasal 10)
·         Perjanjian internasional yang diberlakukan dengan Keputusan Presiden (Pasal 11 ayat 1 dan 2)

IV. Beberapa Masalah Domestik dari Pemberlakuan Perjanjian Internasional ke dalam Hukum Nasional Indonesia Berdasarkan Pasal 11 UUD 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat dan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Masalah-masalah dalam ruang lingkup hukum nasional secara kronologis adalah:
·         Indonesia sebelum mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional sebagaimana lazimnya, akan mengkaji secara mendalam lebih dahulu substansi dari perjanjian internasional tersebut. Persoalan-persoalan yang terkait dalam hal ini adalah, sejauh manakah substansi perjanjian internasional itu sesuai ataupun bertentangan dengan kepentingan nasional ataupun hukum nasional dalam bidang yang bersangkutan.
·         Mengenai pembedaan perjanjian internasional yang pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia antara yang membutuhkan dan yang tidak membutuhkan persetujuan DPR.
·         Kesalahan dalam penggolongan dan pemberlakuan seperti di atas, dapat menimbulkan persoalan apabila Keputusan Presiden tentang pemberlakuan perjanjian itu dijadikan sebagi konsiderans dari UU yang merupakan pelaksanaa dari perjanjian itu.
·         Adanya kemungkinan pihak-pihak yang menggugat keabsahan dari suatu UU tentang pemberlakuan perjanjian internasional kehadapan MK ataupun menggugat keabsahan dari suatu Keputusan Presiden tentang pemberlakuan perjanjian internasional melalui hak uji materiil di hadapan badan pengadilan.
·         Berkenaan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang setelah pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia yang substansial masih perlu ditransformasikan menjadi UU nasional.
·         Perjanjian-perjanjian internasional dalam golongan pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia dilakukan secara langsung sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 15 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2000. Dengan kata lain, perjanjian-perjanjian dalam golongan ini masuknya dan berlakunya sama sekali tanpa suatu bentuk tertentu, seperti UU, KepPres ataupun bentuk peraturan lainnya.

V. Penutup

Dengan paparan masalah-masalah di atas kiranya sudah cukup menampakan betapa keduanya perlu diubah lagi untuk disesuaikan dengan perkembangan hukum perjanjian internasional itu sendiri yang semakin lama semakin bertambah banyak baik secara kuantitatif maupun kualitatif.





SUMBER : INDONESIAN JOURNAL OF INTERNATIONAL LAW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar